Header Ads

UI Kritik Industri Rokok Bidik Pasar Usia Anak

LINTAS PUBLIK - DEPOK, Universitas Indonesia prihatin atas fenomena industri rokok menjadikan anak dan kaum muda sebagai target pemasaran produknya.

Maraknya sponsor rokok di sekitar sekolah serta industri rokok menpromosikan harga rokok murah dibahas dalam diskusi publik bertajuk “Membongkar Strategi Industri Rokok Membidik Anak dan Kaum Muda. Acara ini diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI dan Lentera Anak , Senin 12 November 2018 di Auditorium Gedung Komunikasi, FISIP UI, Depok.

Ketua Departemen Ilmu Komunikasi UI, Nina Mutmainnah Armando, mengatakan industri rokok semakin gencar mempromosikan produknya secara besar-besaran menggunakan beragam media, baik media lama maupun media baru secara bersamaan. Pesan yang dibawanya sangat memikat. Tujuannya jelas untuk menjangkau lebih banyak para calon perokok pemula, yaitu anak-anak dan kaum muda.

Sejumlah pelajar mengenakan topeng domba saat menggelar aksi #TolakJadiTarget iklan rokok di kawasan Silang Monas, Jakarta, Sabtu, 25 Februari 2017. Aksi 300 pelajar ini menolak pemasaran perusahan rokok yang menempatkan iklan di sekitar sekolah.
“Berlimpahnya iklan rokok di beragam media dapat dilihat dari data pengawasan BPOM terhadap iklan rokok yang setiap tahun terus meningkat,” ungkap dia.

Menurut Nina, pada 2014 BPOM mengawasi 51.630 iklan rokok di berbagai media. Angka itu meningkat pada 2015 menjadi 69.244 dan tahun 2016 naik lagi menjadi 85.815 iklan rokok.

“Anak-anak yang terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai media akan terpengaruh cara pandangnya terhadap produk rokok yang sesungguhnya membahayakan kesehatan dan tumbuh kembangnya.”

Psikolog klinis, Liza M Djaprie, menuturkan anak-anak sangat reseptif, alam berpikirnya seperti spons, menyerap semua informasi tanpa disaring dan sangat mudah sekali untuk disugesti.

Jika seorang anak terus terpapar oleh iklan rokok yang disajikan secara menarik, ditambah lagi dengan informasi betapa murahnya harga rokok, maka anak akan menormalisasi produk rokok.

“Dengan demikian anak memiliki potensi lebih besar untuk menjadi konsumen rokok di masa depan,” kata Liza.

Menurut Liza, keleluasaan industri rokok melakukan iklan, promosi, dan sponsor menunjukkan melemahnya regulasi. Peraturan Pemerintah Nonor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan tidak mampu mengendalikan dan melindungi generasi muda dari target industri rokok.

“Tak heran bila prevalensi perokok anak di Indonesia terus meningkat,” papar dia.

Riset Kesehatan Dasar 2018 yang baru saja dirilis, menunjukan prevalensi perokok anak naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Sementara itu Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menargetkan pada tahun 2019 prevalensi perokok anak harus turun sampai dengan 5,4 persen.

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari menyampaikan ironis melihat Kementerian Keuangan yang mengabaikan fakta mengenai data naiknya perevalensi perokok anak. Pemerintah seolah enggan untuk menaikkan cukai rokok pada tahun 2019.

“Hal ini akan semakin membuat anak-anak mudah menjangkau rokok, karena harganya murah, apalagi ditambah dengan gencarnya iklan, promosi, dan sponsor rokok. Dengan kondisi demikian, tampaknya sulit bagi pemerintah untuk mencapai target RPJM pada 2019”, ujar paparnya.

Diskusi publik ini menghasilkan rekomendasi untuk pemerintah agar meningkatkan upaya melindungi anak-anak dan kaum muda supaya mereka tidak menjadi target pemasaran industri rokok. Upaya perlindungan ini seharusnya dilakukan dengan melarang iklan, promosi dan sponsor rokok.

sumber  : temp 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.