Polemik Debat Capres
Kegaduhan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pilpres 2019 masih terus berlangsung. Belakangan berkembang polemik baru mengenai penyelenggaraan debat capres. Persoalan mengenai debat capres sendiri sebenarnya dibicarakan melalui rapat tertutup oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Rapat itu adalah rapat tertutup, jadi jika ada yang belakangan membocorkan rapat maka dapat dipastikan bahwa etika orang yang membocorkan hasil rapat itu tidak baik. Bagaimanapun kesepakatan hasil rapat yang tertutup hanya bisa dibuka melalui kesepakatan oleh pihak-pihak yang melakukan rapat.
Tulisan ini akan membahas persoalan etika itu bersama dengan dua isu utama yang diperdebatkan, yaitu mengenai kesiapan capres dalam debat, serta aturan KPU yang akan memberikan bocoran atau kisi-kisi mengenai pertanyaan yang akan diajukan dalam debat capres nanti.
Etika dan Hukum
Persoalan etika memang sudah menjadi masalah klasik dalam pemilu di Indonesia. Bocornya rapat tertutup antara KPU dengan TKN Jokowi-Ma’ruf dan BPN Prabowo-Sandi adalah sebagian contoh dari lemahnya etika politisi Indonesia. Walaupun ini tampak seolah-olah masalah kecil, namun dalam perspektif penyelenggaraan negara tentu ini adalah hal yang patut disesalkan.
Ada beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, ada pelanggaran kesepakatan dari pihak tertentu. Pelanggaran kesepakatan ini dapat diartikan sebagai sebuah perilaku tidak hormat terhadap kerangka kelembagaan yang ada. Sikap ini juga dapat dianggap sebagai sebuah perilaku yang tidak menghormati pihak-pihak yang lain. Padahal penghormatan atau respek terhadap pihak lain adalah dasar dari ditegakkannya hak asasi manusia, hukum, dan demokrasi. Tanpa adanya penghormatan terhadap pihak yang lain tersebut, yang terwujud bukanlah sebuah mekanisme dan nilai demokrasi tetapi akan menjadi sebuah anarki. Eksistensi orang lain atau pihak lain harus diakui oleh semua pihak sebagai bagian dari etika. Resiprokalitas ini wajib ada agar setiap orang atau setiap pihak menyadari adanya nilai-nilai yang membingkai interaksi mereka.
Kedua, pembocoran hasil rapat tersebut juga menandakan adanya orang-orang yang ingin berperan sebagai penumpang gelap dalam proses demokrasi. Penumpang gelap yang dimaksud adalah mereka yang dengan sengaja melanggar kesepakatan tentang tata acara rapat untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Keuntungan tersebut tidak harus berupa materi atau uang, tetapi juga bisa dalam hal citra atau ingin dianggap sebagai seorang yang tahu atau bisa juga hanya karena ingin dianggap sebagai orang penting. Ada memang beberapa politisi yang merasa ingin dihargai oleh wartawan atau publik dan kemudian bersikap berlebihan atau bersikap tidak seharusnya.
Oleh karena itu, pembocor rapat rahasia seharusnya diberikan sanksi yang tegas oleh pihak-pihak yang berwenang. Sekali lagi meskipun isu yang dibahas relatif dianggap sederhana, tetapi tetap harus ada implikasi hukum dari pembocor hasil rapat tertutup atau sesuatu yang tertutup tersebut. Tampaknya, sikap seperti ini diteruskan dan kemudian menjadi kebiasaan di banyak lembaga. Kita tentu masih ingat hasil penyelidikan kepolisian atau Sprindik KPK yang bocor. Tentu itu adalah gejala yang tidak sehat.
Dalam kehidupan bernegara tentu harus ada implikasi-implikasi hukum atau aturan hukum yang jelas untuk mengatasi masalah ini. Tentu di atas itu adalah etika dari masing-masing politisi dan partai politik. Meskipun etika itu menyangkut sesuatu yang susah untuk diukur, tetapi ia melambangkan nilai yang dianut oleh yang bersangkutan.
Iktikad untuk mengikuti kerangka institusi adalah salah satu standar moral. Oleh karena itu siapapun politisi yang tidak beretika dapat dianggap sebagai seseorang yang tidak bermoral baik dalam aspek kepentingan negara dan norma sosial.
Kisi-kisi Debat
Mungkin juga sang pembocor dengan sengaja ingin menciptakan kegaduhan publik. Dua hasilnya adalah polemik mengenai kesiapan dan tentang kisi-kisi materi debat. Dapat dimengerti jika kemudian kebocoran itu diiringi framing ketidakmauan dan ketidaksiapan petahana dan bahkan muncul tuduhan ketidaknetralan KPU.
Padahal tidak ada alasan untuk tuduhan itu. Dari segi petahana sendiri, sepertinya Jokowi-Ma’ruf punya kesiapan yang sangat cukup untuk menghadapi debat tersebut. Ada setidaknya tiga keunggulan Jokowi-Ma’ruf yang tidak dipunyai oleh Prabowo dan Sandi.
Pertama, Jokowi adalah seorang petahana. Keduanya tentu mempunyai pengetahuan yang sangat cukup mengenai segala hal tentang pembangunan. Kedua, Jokowi telah melakukan praktik secara langsung sehingga tahu pilihan-pilihan yang terbaik yang bisa diambil. Ketiga, sebagai petahana, Jokowi juga punya sumber data yang sangat banyak serta analisis yang sangat lengkap.
Keunggulan itu tentu tidak dipunyai oleh Prabowo-Sandi. Sebagai seorang penantang, Prabowo-Sandi baru bisa memaparkan visi misi yang kadang-kadang dianggap masih di awang-awang. Konsepnya masih berupa idealisme dan belum diterapkan secara riil dalam pembangunan.
Prabowo-Sandi mungkin mempunyai sumber data atau mempunyai tim kajian dalam banyak aspek, namun tetap saja data dan analisis lebih dikuasai oleh petahana. Selain itu, konsep yang diberikan oleh Prabowo dan Sandi bisa jadi justru menjadi bumerang bagi mereka, mengingat selama ini konsep pembangunan pasangan itu lebih menceritakan atau menawarkan konsep saja namun ketika dipersandingkan dengan berbagai variabel analisis, kadang terlihat bahwa konsep tersebut kurang konkret.
Keraguan terhadap data dan argumentasi Prabowo-Sandi bukan tanpa alasan. Dilihat dari wacana-wacana yang selama ini mereka gulirkan, seperti soal mahalnya harga-harga, soal Freeport, dan soal hubungan dengan negara-negara mitra di luar negeri justru sering terbantahkan dengan mudah.
Selain soal kesiapan debat, sepertinya ada hal yang memang harus dikritisi, yakni konsep tentang pemberian bocoran atau kisi-kisi materi debat oleh KPU sepekan sebelum debat. KPU beralasan bahwa ketentuan ini diperlukan untuk menjaga agar debat capres berlangsung secara substantif dan tidak saling menjatuhkan. Untuk hal ini meskipun kita semua harus patuh terhadap keputusan yang sudah dibuat, namun agaknya KPU memang memutuskan sesuatu yang kurang cocok.
Debat adalah suatu sarana untuk menggali kemampuan riil dari para capres-cawapres yang akan bertarung. Oleh karena itu pengondisian terhadap kualitas debat harusnya dilakukan tanpa memberikan bocoran materi debat. Langkah itu akan kontraproduktif dengan tujuan debat. Untuk level calon presiden dan calon wakil presiden seharusnya kemampuan riil kandidat sudah sangat mumpuni.
Hal yang seharusnya dilakukan KPU adalah memperkuat peringatan terhadap batasan-batasan nilai atau norma kepada para kandidat. Inilah jalan keluar bagi kekhawatiran KPU bahwa debat akan berlangsung panas dan mungkin akan saling menjatuhkan. Justru dengan melihat gaya debat kita juga bisa menilai kualitas nilai dan norma para kandidat. Bahwa akan ada beberapa hal yang tidak diharapkan adalah sesuatu yang wajar.
Kita tentu berharap bahwa fokus KPU lebih kepada hal memfasilitasi debat capres dan cawapres daripada sekadar mengawasi sikap dan perilaku kandidat. Sekali lagi, justru debat ini bisa menjadi ajang untuk menilai kualitas personal, sosial, dan karakter dari para kandidat. Maka berikanlah ruang bagi para kandidat untuk menunjukkan hal-hal tersebut.
Penulis adalah doktor ilmu politik, dosen Universitas Pelita Harapan, dan kolumnis Suara Pembaruan.
sumber : BS
Rapat itu adalah rapat tertutup, jadi jika ada yang belakangan membocorkan rapat maka dapat dipastikan bahwa etika orang yang membocorkan hasil rapat itu tidak baik. Bagaimanapun kesepakatan hasil rapat yang tertutup hanya bisa dibuka melalui kesepakatan oleh pihak-pihak yang melakukan rapat.
Tulisan ini akan membahas persoalan etika itu bersama dengan dua isu utama yang diperdebatkan, yaitu mengenai kesiapan capres dalam debat, serta aturan KPU yang akan memberikan bocoran atau kisi-kisi mengenai pertanyaan yang akan diajukan dalam debat capres nanti.
Etika dan Hukum
Persoalan etika memang sudah menjadi masalah klasik dalam pemilu di Indonesia. Bocornya rapat tertutup antara KPU dengan TKN Jokowi-Ma’ruf dan BPN Prabowo-Sandi adalah sebagian contoh dari lemahnya etika politisi Indonesia. Walaupun ini tampak seolah-olah masalah kecil, namun dalam perspektif penyelenggaraan negara tentu ini adalah hal yang patut disesalkan.
Ada beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, ada pelanggaran kesepakatan dari pihak tertentu. Pelanggaran kesepakatan ini dapat diartikan sebagai sebuah perilaku tidak hormat terhadap kerangka kelembagaan yang ada. Sikap ini juga dapat dianggap sebagai sebuah perilaku yang tidak menghormati pihak-pihak yang lain. Padahal penghormatan atau respek terhadap pihak lain adalah dasar dari ditegakkannya hak asasi manusia, hukum, dan demokrasi. Tanpa adanya penghormatan terhadap pihak yang lain tersebut, yang terwujud bukanlah sebuah mekanisme dan nilai demokrasi tetapi akan menjadi sebuah anarki. Eksistensi orang lain atau pihak lain harus diakui oleh semua pihak sebagai bagian dari etika. Resiprokalitas ini wajib ada agar setiap orang atau setiap pihak menyadari adanya nilai-nilai yang membingkai interaksi mereka.
Kedua, pembocoran hasil rapat tersebut juga menandakan adanya orang-orang yang ingin berperan sebagai penumpang gelap dalam proses demokrasi. Penumpang gelap yang dimaksud adalah mereka yang dengan sengaja melanggar kesepakatan tentang tata acara rapat untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Keuntungan tersebut tidak harus berupa materi atau uang, tetapi juga bisa dalam hal citra atau ingin dianggap sebagai seorang yang tahu atau bisa juga hanya karena ingin dianggap sebagai orang penting. Ada memang beberapa politisi yang merasa ingin dihargai oleh wartawan atau publik dan kemudian bersikap berlebihan atau bersikap tidak seharusnya.
Oleh karena itu, pembocor rapat rahasia seharusnya diberikan sanksi yang tegas oleh pihak-pihak yang berwenang. Sekali lagi meskipun isu yang dibahas relatif dianggap sederhana, tetapi tetap harus ada implikasi hukum dari pembocor hasil rapat tertutup atau sesuatu yang tertutup tersebut. Tampaknya, sikap seperti ini diteruskan dan kemudian menjadi kebiasaan di banyak lembaga. Kita tentu masih ingat hasil penyelidikan kepolisian atau Sprindik KPK yang bocor. Tentu itu adalah gejala yang tidak sehat.
Dalam kehidupan bernegara tentu harus ada implikasi-implikasi hukum atau aturan hukum yang jelas untuk mengatasi masalah ini. Tentu di atas itu adalah etika dari masing-masing politisi dan partai politik. Meskipun etika itu menyangkut sesuatu yang susah untuk diukur, tetapi ia melambangkan nilai yang dianut oleh yang bersangkutan.
Iktikad untuk mengikuti kerangka institusi adalah salah satu standar moral. Oleh karena itu siapapun politisi yang tidak beretika dapat dianggap sebagai seseorang yang tidak bermoral baik dalam aspek kepentingan negara dan norma sosial.
Kisi-kisi Debat
Mungkin juga sang pembocor dengan sengaja ingin menciptakan kegaduhan publik. Dua hasilnya adalah polemik mengenai kesiapan dan tentang kisi-kisi materi debat. Dapat dimengerti jika kemudian kebocoran itu diiringi framing ketidakmauan dan ketidaksiapan petahana dan bahkan muncul tuduhan ketidaknetralan KPU.
Padahal tidak ada alasan untuk tuduhan itu. Dari segi petahana sendiri, sepertinya Jokowi-Ma’ruf punya kesiapan yang sangat cukup untuk menghadapi debat tersebut. Ada setidaknya tiga keunggulan Jokowi-Ma’ruf yang tidak dipunyai oleh Prabowo dan Sandi.
Pertama, Jokowi adalah seorang petahana. Keduanya tentu mempunyai pengetahuan yang sangat cukup mengenai segala hal tentang pembangunan. Kedua, Jokowi telah melakukan praktik secara langsung sehingga tahu pilihan-pilihan yang terbaik yang bisa diambil. Ketiga, sebagai petahana, Jokowi juga punya sumber data yang sangat banyak serta analisis yang sangat lengkap.
Keunggulan itu tentu tidak dipunyai oleh Prabowo-Sandi. Sebagai seorang penantang, Prabowo-Sandi baru bisa memaparkan visi misi yang kadang-kadang dianggap masih di awang-awang. Konsepnya masih berupa idealisme dan belum diterapkan secara riil dalam pembangunan.
Prabowo-Sandi mungkin mempunyai sumber data atau mempunyai tim kajian dalam banyak aspek, namun tetap saja data dan analisis lebih dikuasai oleh petahana. Selain itu, konsep yang diberikan oleh Prabowo dan Sandi bisa jadi justru menjadi bumerang bagi mereka, mengingat selama ini konsep pembangunan pasangan itu lebih menceritakan atau menawarkan konsep saja namun ketika dipersandingkan dengan berbagai variabel analisis, kadang terlihat bahwa konsep tersebut kurang konkret.
Keraguan terhadap data dan argumentasi Prabowo-Sandi bukan tanpa alasan. Dilihat dari wacana-wacana yang selama ini mereka gulirkan, seperti soal mahalnya harga-harga, soal Freeport, dan soal hubungan dengan negara-negara mitra di luar negeri justru sering terbantahkan dengan mudah.
Selain soal kesiapan debat, sepertinya ada hal yang memang harus dikritisi, yakni konsep tentang pemberian bocoran atau kisi-kisi materi debat oleh KPU sepekan sebelum debat. KPU beralasan bahwa ketentuan ini diperlukan untuk menjaga agar debat capres berlangsung secara substantif dan tidak saling menjatuhkan. Untuk hal ini meskipun kita semua harus patuh terhadap keputusan yang sudah dibuat, namun agaknya KPU memang memutuskan sesuatu yang kurang cocok.
Debat adalah suatu sarana untuk menggali kemampuan riil dari para capres-cawapres yang akan bertarung. Oleh karena itu pengondisian terhadap kualitas debat harusnya dilakukan tanpa memberikan bocoran materi debat. Langkah itu akan kontraproduktif dengan tujuan debat. Untuk level calon presiden dan calon wakil presiden seharusnya kemampuan riil kandidat sudah sangat mumpuni.
Hal yang seharusnya dilakukan KPU adalah memperkuat peringatan terhadap batasan-batasan nilai atau norma kepada para kandidat. Inilah jalan keluar bagi kekhawatiran KPU bahwa debat akan berlangsung panas dan mungkin akan saling menjatuhkan. Justru dengan melihat gaya debat kita juga bisa menilai kualitas nilai dan norma para kandidat. Bahwa akan ada beberapa hal yang tidak diharapkan adalah sesuatu yang wajar.
Kita tentu berharap bahwa fokus KPU lebih kepada hal memfasilitasi debat capres dan cawapres daripada sekadar mengawasi sikap dan perilaku kandidat. Sekali lagi, justru debat ini bisa menjadi ajang untuk menilai kualitas personal, sosial, dan karakter dari para kandidat. Maka berikanlah ruang bagi para kandidat untuk menunjukkan hal-hal tersebut.
Penulis adalah doktor ilmu politik, dosen Universitas Pelita Harapan, dan kolumnis Suara Pembaruan.
sumber : BS
Tidak ada komentar