Penyebar Berita Hoaks di Singapura Diancam Denda Rp 10,5 Miliar
LINTAS PUBLIK, SINGAPURA telah meloloskan undang-undang kontroversial tentang hoaks yang memberi kekuasaan kepada pihak berwenang mengawasi mimbar daring dan kelompok percakapan privat melalui aplikasi.
Pemerintah Singapura kini bisa memerintahkan mimbar daring membuang materi yang dianggap palsu dan “bertentangan dengan kepentingan publik” serta mengedarkan koreksi terhadap materi tersebut.
Menurut pihak berwenang, UU ini dibuat untuk melindungi warga negara dari hoaks atau berita bohong.
Namun undang-undang ini dikritik sebagai ancaman serius terhadap kebebasan sipil.
Tidak jelas bagaimana UU ini diterapkan, misalnya untuk mengawasi fasilitas percakapan yang terenskripsi.
Pemerintah menekankan bahwa UU ini tak akan diarahkan untuk membatasi kebebasan berpendapat, hanya terbatas pada kebohongan yang terbukti merugikan.
Cakupan
Undang-undang ini melarang penyebaran pernyataan palsu yang menurut pemerintah bertentangan dengan kepentingan umum.
Orang yang ditemukan bersalah melakukan hal ini bisa didenda dengan jumlah maksimum satu juta dolar Singapura (Rp10,5 miliar) atau dihukum penjara maksimal lima tahun.
Undang-undang ini juga melarang penggunaan akun palsu dan bot untuk menyebarkan berita bohong.
Penerapannya juga dilakukan ke berbagai mimbar, mulai dari media sosial, situs berita hingga ke aplikasi untuk percakapan terenskripsi.
Penerapan undang-undang ini terhadap mimbar tertutup seperti aplikasi percakapan dan grup media sosial merupakan hal yang kontroversial.
Ini berarti aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram, yang populer di Singapura, bakal turut terkena dampaknya.
Menteri Negara Senior urusan hukum Edwin Tong menyatakan mimbar privat seperti itu justru merupakan “mimbar yang ideal” untuk penyebaran kebohongan karena tersembunyi dari pandangan publik, tapi dapat mencapai “ratusan bahkan ribuan orang di saat yang sama.”
Pihak berwenang belum menyatakan seperti apa mereka akan mendapat akses ke aplikasi dengan enskripsi.
Perusahaan aplikasi yang terenskripsi telah menolak upaya pengawasan terhadap mereka, seperti misalnya yang terjadi dengan WhatsApp di India.
Namun Edwin Tong menyatakan Singapura bisa mengeluarkan “perintah koreksi umum”. Ini berarti berbagai mimbar dan aplikasi bisa diperintahkan untuk menyebarkan koreksi atas berita palsu kepada para penggunanya.
Wakil direktur Human Rights Watch divisi Asia menyatakan ide pemerintah Singapura ini “gila”.
“Ini mengarah pada gaya pengendalian totaliter dan penyensoran,” katanya kepada BBC. “Ini ancaman langsung terhadap kebebasan berekspresi dan seluruh dunia harus khawatir terhadap kecenderungan ini.”
Sementara itu juru bicara WhatsApp menyatakan kepada BBC, “Masyarakat secara umum mengenali beda antara bentuk komunikasi pribadi dan publik, dan kami mengerjakan bagian kami untuk mengurangi penyebaran informasi bohong seraya mempertahankan sifat pribadi dari layanan kami.”
Singapura kini bergabung dengan negara-negara seperti Rusia, Prancis dan Jerman yang telah meloloskan undang-undang yang keras terhadap berita bohong dan ujaran kebencian.
sumber : bbc
Pemerintah Singapura kini bisa memerintahkan mimbar daring membuang materi yang dianggap palsu dan “bertentangan dengan kepentingan publik” serta mengedarkan koreksi terhadap materi tersebut.
Menurut pihak berwenang, UU ini dibuat untuk melindungi warga negara dari hoaks atau berita bohong.
ilustrasi |
Tidak jelas bagaimana UU ini diterapkan, misalnya untuk mengawasi fasilitas percakapan yang terenskripsi.
Pemerintah menekankan bahwa UU ini tak akan diarahkan untuk membatasi kebebasan berpendapat, hanya terbatas pada kebohongan yang terbukti merugikan.
Cakupan
Undang-undang ini melarang penyebaran pernyataan palsu yang menurut pemerintah bertentangan dengan kepentingan umum.
Orang yang ditemukan bersalah melakukan hal ini bisa didenda dengan jumlah maksimum satu juta dolar Singapura (Rp10,5 miliar) atau dihukum penjara maksimal lima tahun.
Undang-undang ini juga melarang penggunaan akun palsu dan bot untuk menyebarkan berita bohong.
Penerapannya juga dilakukan ke berbagai mimbar, mulai dari media sosial, situs berita hingga ke aplikasi untuk percakapan terenskripsi.
Penerapan undang-undang ini terhadap mimbar tertutup seperti aplikasi percakapan dan grup media sosial merupakan hal yang kontroversial.
Ini berarti aplikasi seperti WhatsApp dan Telegram, yang populer di Singapura, bakal turut terkena dampaknya.
Menteri Negara Senior urusan hukum Edwin Tong menyatakan mimbar privat seperti itu justru merupakan “mimbar yang ideal” untuk penyebaran kebohongan karena tersembunyi dari pandangan publik, tapi dapat mencapai “ratusan bahkan ribuan orang di saat yang sama.”
Pihak berwenang belum menyatakan seperti apa mereka akan mendapat akses ke aplikasi dengan enskripsi.
Perusahaan aplikasi yang terenskripsi telah menolak upaya pengawasan terhadap mereka, seperti misalnya yang terjadi dengan WhatsApp di India.
Namun Edwin Tong menyatakan Singapura bisa mengeluarkan “perintah koreksi umum”. Ini berarti berbagai mimbar dan aplikasi bisa diperintahkan untuk menyebarkan koreksi atas berita palsu kepada para penggunanya.
Wakil direktur Human Rights Watch divisi Asia menyatakan ide pemerintah Singapura ini “gila”.
“Ini mengarah pada gaya pengendalian totaliter dan penyensoran,” katanya kepada BBC. “Ini ancaman langsung terhadap kebebasan berekspresi dan seluruh dunia harus khawatir terhadap kecenderungan ini.”
Sementara itu juru bicara WhatsApp menyatakan kepada BBC, “Masyarakat secara umum mengenali beda antara bentuk komunikasi pribadi dan publik, dan kami mengerjakan bagian kami untuk mengurangi penyebaran informasi bohong seraya mempertahankan sifat pribadi dari layanan kami.”
Singapura kini bergabung dengan negara-negara seperti Rusia, Prancis dan Jerman yang telah meloloskan undang-undang yang keras terhadap berita bohong dan ujaran kebencian.
sumber : bbc
Tidak ada komentar