Plt Kadis Pariwisata Humbahas: Wisata Halal Danau Toba Bertentangan dengan Kearifan Lokal
LINTAS PUBLIK - DOLOK SANGGUL, Masyarakat di kawasan Danau Toba seputar pinggiran Danau Toba sedikit terusik dengan wacana wisata halal dan wisata syariah di kawasan Danau Toba sebagaimana yang disampaikan Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi. Wacana itu dinilai bertentangan dengan tradisi dan budaya sebagai kearifan lokal.
"Saya pribadi tidak setuju dan menolak kebijakan tersebut karena akan mengganggu pranata adat istiadat masyarakat suku Batak," kata Plt Kadis Pariwisata Humbahas, Resva Panjaitan Jumat,(30/9/2019), di Doloksanggul.
Menurut Resva, wisata halal dan syariah itu lebih mengarah membawa politik agama ke Danau Toba, tidak mengedepankan kebinekaan.
"Perlu diketahui, daerah Danau Toba dengan wisata budaya juga sebagai ikon pusat peradapan sejarah suku Batak dan mayoritas agama Nasrani," tandas Resva.
Lanjut Resva, wisata halal di Danau Toba melemahkan tradisi dan budaya, adat istiadat Batak dan agama, Selain itu juga akan melemahkan prekonomian masyarakat lokal. Padahal, selama ini tidak ada masalah di masyarakat terkait praktik kepariwisataan yang sudha berjalan bertahun-tahun. Hubungan masyarakat yang berbeda suku agama juga berjalan harmonis.
Resva setuju dilakukan penataan, namun jangan sampai menghilangkan tradisi itu sendiri. "Suku Batak tradisinya setiap acara melekat dengan simbol ternak babi," jelasnya.
Ia juga membandingkan pariwisata Bali yang kental dengan warisan ritual adat dan tradisi leluhurnya. "Kegiatan dikemas sebagai atraksi. Jutaan wisatawan setiap tahunya datang berkunjung ke Bali dari berbagai kepercayaan," katanya.
Resva mengajak pemerintah kabupaten sekawasan Danau Toba, khususnya Humbahas, Toba Samosir, Samosir dan Tapanuli Utara untuk menyatukan langkah menyikapi penolakan masyarakat atas wacana wisata halal dan syariah yang digaungkan Gubernur Edy.
Ia menegaskan, Pemkab dan DPRD Humbahas dengan elemen masyarakat, sepenuhnya mendukung Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional(KSPN), dengan mensingkronkan kebijakan pariwisata nasional dengan kebijakan pariwisata di Humbahas.
Sebelumnya, Gubernur Edy Rahmayadi menyampaikan salah satu fokusnya membangun Sumut, yakni terkait pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba. ia akan membentuk tim bernama Tim Percepatan Kesuksesan Pariwisata Kawasan Danau Toba. Tim itu antara lain nantinya menyelaraskan tugas-tugas pengembangan Danau Toba dari berbagai sektor, seperti penanganan dan pengelolaan limbah industri dan limbah rumah tangga hingga penataan keramba jaring apung.
Kemudian penataan hewan berkaki empat agar tidak sembarang dipotong di tempat-tempat umum karena status Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan juga termasuk pengembangan wisata halal, seperti mendirikan masjid.
Wisman dari negara-negata tetangga itu, kata Edy, harus dipahami soal keinginannya, latar belakang dan adat istiadat. Misalnya wisman Malaysia dan Brunei.
"Tidak kalian bikin di sana masjid, tak datang dia (wisman) itu. Sempat potong-potong babi di luar, sekali datang besok tak datang lagi itu," sebut Edy mencontohkan.
Pernyataan Edy tersebut langsung menuai penolakan sejumlah kalangan. Bupati Samosir, Rapidin Simbolon, misalnya, tidak pernah berpikir untuk menerapkan wisata halan di kabupaten yang dipimpinnya.
Menurut Rapidin, penolakan atas wisata halal maupun syariah adalah keputusan pemerintah dan sebagian besar rakyat Samosir yang ada di bonapasogit dan yang ada di tanah rantau. Alasannya karena tidak sesuai dengan paham kebangsaan, ideologi dan dasar negara, yaitu Pancasila, UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika.
"Dan hal itu juga tidak sesuai dengan budaya dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Samosir. Samosir untuk Indonesia dan Samosir untuk dunia, harus kita jaga dan lestarikan budayanya," tandas Rapidin.
Antropolog Batak, Prof Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), mengingatkan Gubernur Edy untuk tidak meneruskan konsepnya itu.
"Gubsu tidak boleh mengubah dan mengatur adat dan budaya. Apakah Gubsu mau menghancurkan adat budaya Batak dengan label makanan halal itu?" kata BAS, Kamis (29/8/2019).
Menurut BAS, tanah Batak sama dengan Bali, ada kuliner tradisionalnya yang bisa dicicipi turis lokal maupun mancanegara. Itu adalah bagian kekayaan yang dimiliki suatu kelompok masyarakat tradisi yang harus dihormati dan dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Di Batak, ada banyak kuliner tradisional. Antara lain, sangsang, naniarsik, namargota, napinadar, natinanggo, silalat, naginoreng dan sebagainya.
Dengan melontarkan kebijakan itu, Edy, menurut BAS, tengah menggunakan gaya diktator orde baru yang memakai kekuasaan untuk mengintervensi budaya.
BAS juga mengingatkan Edy jangan seperti EWP Tambunan yang ketika menjabat Gubernur Sumatra Utara menggunakan adat dan budaya untuk menggadaikan tanah Batak kepada perusahaan yang merusak lingkungan.
"Edy jangan seperti EWP pakai adat budaya Batak pago-pago untuk menggadaikan tanah kepada PT IIU/TPL. Gubsu tidak berhak mengatur apalagi mengubah adat dan budaya. Sebaliknya, dia harus melindungi, ingat melindungi, bukan mengubah," tandas BAS.
sumber : MB
"Saya pribadi tidak setuju dan menolak kebijakan tersebut karena akan mengganggu pranata adat istiadat masyarakat suku Batak," kata Plt Kadis Pariwisata Humbahas, Resva Panjaitan Jumat,(30/9/2019), di Doloksanggul.
Menara Pandang Tele dikawasan Geopark Kaldera Toba/dok. danautobacenter.com |
"Perlu diketahui, daerah Danau Toba dengan wisata budaya juga sebagai ikon pusat peradapan sejarah suku Batak dan mayoritas agama Nasrani," tandas Resva.
Lanjut Resva, wisata halal di Danau Toba melemahkan tradisi dan budaya, adat istiadat Batak dan agama, Selain itu juga akan melemahkan prekonomian masyarakat lokal. Padahal, selama ini tidak ada masalah di masyarakat terkait praktik kepariwisataan yang sudha berjalan bertahun-tahun. Hubungan masyarakat yang berbeda suku agama juga berjalan harmonis.
Resva setuju dilakukan penataan, namun jangan sampai menghilangkan tradisi itu sendiri. "Suku Batak tradisinya setiap acara melekat dengan simbol ternak babi," jelasnya.
Ia juga membandingkan pariwisata Bali yang kental dengan warisan ritual adat dan tradisi leluhurnya. "Kegiatan dikemas sebagai atraksi. Jutaan wisatawan setiap tahunya datang berkunjung ke Bali dari berbagai kepercayaan," katanya.
Resva mengajak pemerintah kabupaten sekawasan Danau Toba, khususnya Humbahas, Toba Samosir, Samosir dan Tapanuli Utara untuk menyatukan langkah menyikapi penolakan masyarakat atas wacana wisata halal dan syariah yang digaungkan Gubernur Edy.
Ia menegaskan, Pemkab dan DPRD Humbahas dengan elemen masyarakat, sepenuhnya mendukung Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional(KSPN), dengan mensingkronkan kebijakan pariwisata nasional dengan kebijakan pariwisata di Humbahas.
Sebelumnya, Gubernur Edy Rahmayadi menyampaikan salah satu fokusnya membangun Sumut, yakni terkait pengembangan pariwisata kawasan Danau Toba. ia akan membentuk tim bernama Tim Percepatan Kesuksesan Pariwisata Kawasan Danau Toba. Tim itu antara lain nantinya menyelaraskan tugas-tugas pengembangan Danau Toba dari berbagai sektor, seperti penanganan dan pengelolaan limbah industri dan limbah rumah tangga hingga penataan keramba jaring apung.
Kemudian penataan hewan berkaki empat agar tidak sembarang dipotong di tempat-tempat umum karena status Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan juga termasuk pengembangan wisata halal, seperti mendirikan masjid.
Wisman dari negara-negata tetangga itu, kata Edy, harus dipahami soal keinginannya, latar belakang dan adat istiadat. Misalnya wisman Malaysia dan Brunei.
"Tidak kalian bikin di sana masjid, tak datang dia (wisman) itu. Sempat potong-potong babi di luar, sekali datang besok tak datang lagi itu," sebut Edy mencontohkan.
Pernyataan Edy tersebut langsung menuai penolakan sejumlah kalangan. Bupati Samosir, Rapidin Simbolon, misalnya, tidak pernah berpikir untuk menerapkan wisata halan di kabupaten yang dipimpinnya.
Menurut Rapidin, penolakan atas wisata halal maupun syariah adalah keputusan pemerintah dan sebagian besar rakyat Samosir yang ada di bonapasogit dan yang ada di tanah rantau. Alasannya karena tidak sesuai dengan paham kebangsaan, ideologi dan dasar negara, yaitu Pancasila, UUD 1945 serta Bhineka Tunggal Ika.
"Dan hal itu juga tidak sesuai dengan budaya dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Samosir. Samosir untuk Indonesia dan Samosir untuk dunia, harus kita jaga dan lestarikan budayanya," tandas Rapidin.
Antropolog Batak, Prof Bungaran Antonius Simanjuntak (BAS), mengingatkan Gubernur Edy untuk tidak meneruskan konsepnya itu.
"Gubsu tidak boleh mengubah dan mengatur adat dan budaya. Apakah Gubsu mau menghancurkan adat budaya Batak dengan label makanan halal itu?" kata BAS, Kamis (29/8/2019).
Menurut BAS, tanah Batak sama dengan Bali, ada kuliner tradisionalnya yang bisa dicicipi turis lokal maupun mancanegara. Itu adalah bagian kekayaan yang dimiliki suatu kelompok masyarakat tradisi yang harus dihormati dan dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Di Batak, ada banyak kuliner tradisional. Antara lain, sangsang, naniarsik, namargota, napinadar, natinanggo, silalat, naginoreng dan sebagainya.
Dengan melontarkan kebijakan itu, Edy, menurut BAS, tengah menggunakan gaya diktator orde baru yang memakai kekuasaan untuk mengintervensi budaya.
BAS juga mengingatkan Edy jangan seperti EWP Tambunan yang ketika menjabat Gubernur Sumatra Utara menggunakan adat dan budaya untuk menggadaikan tanah Batak kepada perusahaan yang merusak lingkungan.
"Edy jangan seperti EWP pakai adat budaya Batak pago-pago untuk menggadaikan tanah kepada PT IIU/TPL. Gubsu tidak berhak mengatur apalagi mengubah adat dan budaya. Sebaliknya, dia harus melindungi, ingat melindungi, bukan mengubah," tandas BAS.
sumber : MB
Tidak ada komentar