Dewan Pengawas Belum Ada, KPK Tetap Bisa Sadap dan Operasi Tangkap Tangan
LINTAS PUBLIK, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LEIP) Alfeus Jebabun menilai,KPK tetap melakukan penyadapan dan operasi tangkap tangan, meski KPK belum memiliki Dewan Pengawas (Dewas).
Sebab, berdasarkan Pasal 69D Undang-Undang KPK hasil revisi, sebelum Dewas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan UU yang lama. "Artinya, penyadapan tetap sah walau tanpa adanya izin Dewas, karena Dewas belum terbentuk," jelas Alfeus di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Dia meminta KPK tidak perlu takut melakukan penyadapan tanpa izin Dewas. Pasal 69D telah mengatur secara tegas wewenang KPK sebelum dibentuknya Dewas oleh presiden.
"Berdasarkan Pasal 69A, Dewas pertama kali ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Pengakatan ketua dan anggota Dewas, tidak dilakukan sekarang, dalam masa kepemimpinan Agus, melainkan dilaksanakan bersamaan dengan pengangkan pimpinan KPK periode 2019 sampai dengan 2023," tuturnya.
Dia melihat UU KPK hasil revisi cukup bagus. Adanya kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 adalah sesuatu yang baik untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah KPK melakukan tindakan sewenang-wenang.
Pengaturan wewenang KPK untuk SP3 juga sebenarnya bagus untuk KPK ke depan. Sebab KPK seharusnya didorong untuk tidak gegabah dalam mentersangkakan orang dan mendorong KPK agar bekerja lebih efektif dan efisien.
"Kita tidak bisa memungkiri bahwa sangat banyak kasus korupsi yang menggantung dan masih belum diselesaikan KPK. Alasan itu pula yang menjadi hal penting dibentuknya Dewas," ujar alumnus pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan itu.
Lebih jauh dia menegaskan, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan besar, KPK memang harus diawasi oleh Dewas. Namun, pembentuk undang-undang terlalu memberi kewenangan yang berlebihan kepada Dewas, yaitu kewenangan pro justitia, melalui izin penyadapan. Seharusnya, Dewas tidak boleh diserahi wewenang memberikan izin penyadapan. Izin penyadapan seharusnya menjadi domain ketua pengadilan.
sumber : BS
Sebab, berdasarkan Pasal 69D Undang-Undang KPK hasil revisi, sebelum Dewas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan UU yang lama. "Artinya, penyadapan tetap sah walau tanpa adanya izin Dewas, karena Dewas belum terbentuk," jelas Alfeus di Jakarta, Kamis (17/10/2019).
Petugas menunjukkan barang bukti Operasi Tangkap Tangan (OTT) pengurusan izin impor bawang putih di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 8 Agustus 2019. |
"Berdasarkan Pasal 69A, Dewas pertama kali ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Pengakatan ketua dan anggota Dewas, tidak dilakukan sekarang, dalam masa kepemimpinan Agus, melainkan dilaksanakan bersamaan dengan pengangkan pimpinan KPK periode 2019 sampai dengan 2023," tuturnya.
Dia melihat UU KPK hasil revisi cukup bagus. Adanya kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 adalah sesuatu yang baik untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah KPK melakukan tindakan sewenang-wenang.
Pengaturan wewenang KPK untuk SP3 juga sebenarnya bagus untuk KPK ke depan. Sebab KPK seharusnya didorong untuk tidak gegabah dalam mentersangkakan orang dan mendorong KPK agar bekerja lebih efektif dan efisien.
"Kita tidak bisa memungkiri bahwa sangat banyak kasus korupsi yang menggantung dan masih belum diselesaikan KPK. Alasan itu pula yang menjadi hal penting dibentuknya Dewas," ujar alumnus pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan itu.
Lebih jauh dia menegaskan, sebagai lembaga yang memiliki kewenangan besar, KPK memang harus diawasi oleh Dewas. Namun, pembentuk undang-undang terlalu memberi kewenangan yang berlebihan kepada Dewas, yaitu kewenangan pro justitia, melalui izin penyadapan. Seharusnya, Dewas tidak boleh diserahi wewenang memberikan izin penyadapan. Izin penyadapan seharusnya menjadi domain ketua pengadilan.
sumber : BS
Tidak ada komentar