Tidak Ingin ‘Kecolongan’, Kapolri Lakukan Diskresi Tidak Terbitkan STTP
LINTAS PUBLIK - JAKARTA – Pihak Polda Metro Jaya tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) aksi unjuk rasa hingga hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, pada 20 Oktober 2019, dengan alasan diskresi kepolisian.
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, keputusan diskresi diambil sebagai upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan saat hari pelantikan nanti.
Terlebih pada saat pelantikan tersebut, akan banyak tamu-tamu negara yang akan turur hadir. Oleh karena, pihak kepolisian pun mengluarkan diskresi untuk tidak menerbitkan STTP aksi unjuk rasa.
“Kita tidak ingin kecolongan, kita tidak ingin menanggung resiko bahwa bangsa kita dicap buruk meskipun tidak istilah perizinan maka yang pertama kita ingin memberikan himbauan kepada masyarakat untuk sebaiknya tidak melakukan mobilisasi massa,” ujar Tito di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Kamis (17/10/2019).
Langkah ini diambil setelah melihat sejumlah aksi unjuk rasa yang digelar massa, kerap kali berujung ricuh. Apalagi kericuhan itu acapkali pecah menjelang malam hari.
“Kalau seandainya selama ini demonya aman-aman saja kita no problem. Tapi ini demonya yang belakangan mohon maaf ada yang idealisme, ada juga pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan ini untuk kepentingan sendiri,” kata Tito.
Adapun diskresi kepolisian tersebut tertuang dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum. Dalam pasal 6 termuat batasan dari unjuk rasa.
Diantaranya tidak boleh mengganggu kepentingan publik ketertiban umum, tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, harus sesuai dengan aturan, mengindahkan etika dan moral, dan harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Meskipun tidak menerbitkan STTP untuk aksi unjuk rasa, Polri tidak melarang aksi unjuk rasa, dengan catatan tidak anarkis.
“Kalau aksi unras itu berpotensi akan damai, aman seperti disampaikan pak Presiden kita engga ngelarang sepanjang aman damai,” tutur Tito.
“Kita akan bergerak duluan. Kita lihat ini akan potensinya akan tidak aman, tidak akan kita terbitkan (STTP), kita akan bubarkan dulu, sebelum berubah jadi crowd,” sambungnya.
Sebelumnya, terkait aksi unjuk rasa menjelang pelantikan, Presiden Joko Widodo mengaku, memperbolehkan masyarakat untuk menggelar aksi unjuk rasa menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Ia mengatakan, tak ada perintah kepada Kapolri untuk melarang aksi unjuk rasa masyarakat.
“Ndak ada (perintah),” ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, pihaknya tetap tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) yang masuk ke Polda Metro Jaya terkait aksi unjuk rasa menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.
Argo mengatakan kalau perizinan aksi penyampaian pendapat itu tidak diterbitkan mulai 15 hingga 20 Oktober 2019. Alasannya, hal itu merupakan bagian dari diskresi kepolisian.
sumber : posk
Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, keputusan diskresi diambil sebagai upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kerusuhan saat hari pelantikan nanti.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian. |
“Kita tidak ingin kecolongan, kita tidak ingin menanggung resiko bahwa bangsa kita dicap buruk meskipun tidak istilah perizinan maka yang pertama kita ingin memberikan himbauan kepada masyarakat untuk sebaiknya tidak melakukan mobilisasi massa,” ujar Tito di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat, Kamis (17/10/2019).
Langkah ini diambil setelah melihat sejumlah aksi unjuk rasa yang digelar massa, kerap kali berujung ricuh. Apalagi kericuhan itu acapkali pecah menjelang malam hari.
“Kalau seandainya selama ini demonya aman-aman saja kita no problem. Tapi ini demonya yang belakangan mohon maaf ada yang idealisme, ada juga pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan ini untuk kepentingan sendiri,” kata Tito.
Adapun diskresi kepolisian tersebut tertuang dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum. Dalam pasal 6 termuat batasan dari unjuk rasa.
Diantaranya tidak boleh mengganggu kepentingan publik ketertiban umum, tidak boleh mengganggu hak asasi orang lain, harus sesuai dengan aturan, mengindahkan etika dan moral, dan harus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Meskipun tidak menerbitkan STTP untuk aksi unjuk rasa, Polri tidak melarang aksi unjuk rasa, dengan catatan tidak anarkis.
“Kalau aksi unras itu berpotensi akan damai, aman seperti disampaikan pak Presiden kita engga ngelarang sepanjang aman damai,” tutur Tito.
“Kita akan bergerak duluan. Kita lihat ini akan potensinya akan tidak aman, tidak akan kita terbitkan (STTP), kita akan bubarkan dulu, sebelum berubah jadi crowd,” sambungnya.
Sebelumnya, terkait aksi unjuk rasa menjelang pelantikan, Presiden Joko Widodo mengaku, memperbolehkan masyarakat untuk menggelar aksi unjuk rasa menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Ia mengatakan, tak ada perintah kepada Kapolri untuk melarang aksi unjuk rasa masyarakat.
“Ndak ada (perintah),” ujar Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Sementara itu, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono mengatakan, pihaknya tetap tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) yang masuk ke Polda Metro Jaya terkait aksi unjuk rasa menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.
Argo mengatakan kalau perizinan aksi penyampaian pendapat itu tidak diterbitkan mulai 15 hingga 20 Oktober 2019. Alasannya, hal itu merupakan bagian dari diskresi kepolisian.
sumber : posk
Tidak ada komentar