Ongen: Tentara Juara Dunia Tinju Berawal dari Rp5000
LINTAS PUBLIK, Saya Ongen Saknosiwi, lahir di Desa Wanibe, Pulau Buru, Maluku Tengah tahun 1994. Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Bapak saya petani dan ibu saya ibu rumah tangga.
Saya anak kedua dari lima bersaudara. Kami hidup dalam serba keterbatasan. Tetapi orang tua terus berjuang menghidupi kami. Kakak saya berhenti sekolah dan kemudian membantu bapak saya bekerja untuk menghidupi kami berempat untuk bersekolah.
Saat saya kecil, saya belum tentu bisa makan nasi dalam satu hari. Sebagai anak kecil, saya suka olahraga sepak bola. Tetapi saya juga minat dengan olahraga tinju karena bapak saya sering menonton tinju.
Sebagai anak yang tumbuh remaja, saya belum berlatih tinju secara langsung. Tetapi saya sudah sering terlibat perkelahian. Tanpa teknik tinju.
Entah itu satu lawan satu atau tawuran. Hal itu saya anggap sebagai sebuah kenakalan remaja karena sebab perkelahian bisa apa saja.
Saya baru mengenal tinju pada usia 17 ketika pindah ke Ambon. Saya pindah karena di kampung saya tidak ada sekolah SMA. Akhirnya saya ikut salah satu keluarga saya agar bisa bersekolah SMA di Ambon.
Kondisi keuangan saya pas-pasan saat SMA. Bahkan saya sering tidak makan saat istirahat sekolah karena tidak punya uang. Ketika teman-teman saya keluar kelas untuk makan, saya hanya diam saja di kelas.
Saat sekolah SMA di Ambon, hanya beberapa kali saya menerima uang kiriman orang tua. Saya juga berpikir bahwa di kampung masih ada adik-adik saya dan saya tidak ingin membebani orang tua.
Untuk bisa memiliki uang, saya bekerja serabutan. Saya kadang ikut bantu-bantu jadi kuli bangunan. Saya sekolah di pagi hari dan kemudian bekerja sore.
Mulai Berlatih Tinju
Saat saya kelas tiga, saya datang ke gimnasium dan bertemu pelatih tinju bernama Pak Simon Nahumury. Saya bilang bahwa saya ingin ikut latihan tinju. Pak Simon langsung meminta saya datang esok harinya.
Sejak itu, saya bergabung latihan tinju setiap pulang sekolah. Saya mulai berlatih tinju karena hobi dan ingin berprestasi.
Ketika pertama kali berlatih tinju, saya sama sekali tidak merasa berat dan kelelahan. Mungkin karena sejak kecil saya sudah sering ke kebun, sering kerja keras. Jadi latihan tinju tidak terlalu berat untuk dijalani.
Tiga bulan berlatih tinju, saya ikut kejuaraan. Pertama kali naik ring untuk bertanding, saya merasa gugup. Saya tegang, keluar keringat tetapi merasa udara dingin. Saya demam panggung.
Tetapi saya langsung jadi juara di turnamen itu. Saya tiga kali main untuk jadi juara. Jadi, tiga bulan turnamen, saya langsung juara.
Setelah menang, saya langsung dapat beasiswa dari sekolah hingga lulus.
Seiring saya aktif mengikuti berbagai turnamen tinju, ada tawaran dari Pak AKP Wim Sapulete [mantan petinju yang juga berprofesi sebagai polisi] untuk melanjutkan karier tinju di Tangerang setelah saya lulus SMA di tahun 2011.
Saat itu, saya hanya modal nekat saja menerima tawaran itu. Setelah saya dibelikan tiket, saya pergi ke Jakarta hanya dengan modal uang Rp5.000 di kantong.
Karena hanya punya Rp5.000, saat pesawat transit di Makassar, saya tidak makan sama sekali. Mau beli apa di bandara dengan uang Rp5.000?
Setelah tiba di Tangerang, saya berlatih di sasana milik Pak Wim. Saya berutang budi pada beliau dan keluarganya karena mereka yang menampung saya selama di Tangerang.
Bangga Pakai Seragam Tentara
Dalam periode 2011-2014 sebenarnya itu adalah masa-masa bimbang saya sebagai petinju. Saya masih memendam hasrat untuk jadi prajurit TNI karena jadi prajurit TNI juga merupakan cita-cita saya sejak kecil.
Tetapi saya sama sekali tidak pernah mencoba untuk ikut tes masuk TNI lewat jalur normal. Mungkin saya takut untuk mencoba.
Saya sempat masuk pelatnas tinju junior tetapi kemudian keluar karena saya sakit akibat terlalu banyak latihan.
Pada masa itu, saya mendapat uang saku karena saya termasuk atlet Banten. Uang saku yang saya terima, setengah saya kirimkan ke orang tua. Saya memang sudah mulai bantu-bantu untuk membiayai adik-adik saya sekolah.
Saat itu saya masih sering berpikir apakah dengan tinju masa depan bisa bagus. Namun saat saya ragu, saya hanya berusaha untuk terus latihan sambil meyakinkan diri bahwa tinju adalah jalan saya.
Ongen Saknosiwi berhasil jadi prajurit TBI AU dan tetap bisa menekuni dunia tinju.
Pada 2014, saya bertanding di Sarung Tinju Emas di Medan. Saat itu saya kalah di penyisihan pertama. Tetapi pada saat bersamaan, ternyata ada tawaran dari Kolonel Siswanta untuk masuk TNI Angkatan Udara dan bergabung dengan Dirgantara Boxing.
Tentu saya tidak menyangka mendapat tawaran itu dan langsung mengiyakan. Tetapi, dapat tawaran masuk TNI AU bukan berarti saya langsung lolos masuk.
Saya tetap ikut seleksi, mulai psikotes hingga tes fisik. Dalam tes fisik, saya mampu melaluinya dengan baik. Bila batas lari yang diwajibkan adalah enam putaran lapangan sepak bola, saya bisa melakukan delapan putaran. Begitu juga dengan tes push up dan yang lain. Latihan sehari-hari petinju begitu membantu saya.
Saya akhirnya masuk sebagai anggota TNI AU. Begitu pertama kali saya dapat seragam, saya langsung pakai. Saya kemudian terus berdiri di depan kaca memandangi diri saya yang pakai seragam, ha ha ha..
Hari-hari saya sebagai prajurit TNI AU diisi dengan tugas prajurit dan juga latihan tinju. Namun bila ada persiapan pertandingan, saya mendapat izin untuk melakukan persiapan agar lebih fokus.
Di awal masuk TNI AU, saya masih berstatus sebagai petinju amatir. Namun begitu kalah di PON 2016, saya berpikir untuk menyudahi karier amatir dan terjun ke profesional.
Saya langsung debut pada bulan November dan menang KO. Bagi saya, tinju profesional lebih menantang. Tidak ada pelindung, ronde lebih panjang.
Sejak turun ke profesional, cita-cita saya sudah jadi juara dunia. Saya ingin rekor bagus, ingin angkat nama keluarga, ingin angkat nama TNI Angkatan Udara, ingin angkat nama Indonesia.
Bergabung dengan Mahkota membuat Ongen Saknosiwi bisa punya jalan bagus menuju pertarungan perebutan gelar juara dunia.Bergabung dengan Mahkota membuat Ongen Saknosiwi bisa punya jalan bagus menuju pertarungan perebutan gelar juara dunia. (dok. Mahkota Boxing Series)
Sebagai petinju yang bisa menang KO dan TKO di tujuh laga awal, semua itu tidak bisa diprediksi. Dalam tinju, tidak ada yang bisa diprediksi di atas ring. Mungkin karena lawan lengah, terus kena pukulan saya, itu yang membuat mereka KO.
Usai memenangkan laga keenam, saya dihubungi oleh Mahkota Boxing Promotions. Bagi saya, ini termasuk sebuah keberuntungan karena nama Mahkota sudah merupakan nama besar di dunia tinju.
Mungkin masih banyak petinju yang lebih baik dari saya di Indonesia, namun belum beruntung. Saya mujur bisa masuk Mahkota sehingga rencana pertarungan saya menjadi lebih baik.
Rebut Juara Dunia
Dalam pertandingan kedelapan, saya menghadapi Marco Demecillo dalam perebutan sabuk juara dunia kelas bulu versi International Boxing Association (IBA). Sejak awal saya sudah mempersiapkan diri untuk bertarung dalam waktu lama.
Dia memang petinju yang kuat dan tahan pukul sehingga saya tidak lagi terkejut ketika pertandingan berlangsung sampai akhir. Begitu saya dipastikan jadi pemenang, saya tak bisa lagi berkata-kata, impian saya selama ini tercapai.
Target saya memang jadi juara dunia. Namun ini bukan akhir, ini adalah awal karier karena saya harus latihan lebih keras untuk tantangan-tantangan di depan yang lebih berat.
Atas apa yang terjadi pada hidup saya saat ini, saya bersyukur sekali pada Tuhan Yesus karena bisa sampai ke titik ini. Dahulu hidup kami mau makan nasi saja seminggu tidak tentu. Sepatu yang harganya hanya Rp35 ribu saja tidak kuat untuk membelinya.
Alas sepatu saya sudah sobek dan saya memakai potongan sandal jepit untuk jadi alas sepatu. Saya bersyukur bisa sampai di kondisi saat ini. Saya sangat bersyukur.
Saya bersyukur karena bisa ikut bantu menyekolahkan adik-adik saya. Adik saya sudah jadi prajurit TNI, lalu ada yang sekolah perawat, dan sekolah penerbang. Bagi saya hal itu merupakan sebuah kebahagiaan tak terhingga.
Saya akan selalu mengingat pesan orang tua saya untuk melaksanakan ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.
sumber : cnn
Saya anak kedua dari lima bersaudara. Kami hidup dalam serba keterbatasan. Tetapi orang tua terus berjuang menghidupi kami. Kakak saya berhenti sekolah dan kemudian membantu bapak saya bekerja untuk menghidupi kami berempat untuk bersekolah.
Saat saya kecil, saya belum tentu bisa makan nasi dalam satu hari. Sebagai anak kecil, saya suka olahraga sepak bola. Tetapi saya juga minat dengan olahraga tinju karena bapak saya sering menonton tinju.
Sebagai anak yang tumbuh remaja, saya belum berlatih tinju secara langsung. Tetapi saya sudah sering terlibat perkelahian. Tanpa teknik tinju.
Entah itu satu lawan satu atau tawuran. Hal itu saya anggap sebagai sebuah kenakalan remaja karena sebab perkelahian bisa apa saja.
Saya baru mengenal tinju pada usia 17 ketika pindah ke Ambon. Saya pindah karena di kampung saya tidak ada sekolah SMA. Akhirnya saya ikut salah satu keluarga saya agar bisa bersekolah SMA di Ambon.
Kondisi keuangan saya pas-pasan saat SMA. Bahkan saya sering tidak makan saat istirahat sekolah karena tidak punya uang. Ketika teman-teman saya keluar kelas untuk makan, saya hanya diam saja di kelas.
Saat sekolah SMA di Ambon, hanya beberapa kali saya menerima uang kiriman orang tua. Saya juga berpikir bahwa di kampung masih ada adik-adik saya dan saya tidak ingin membebani orang tua.
Untuk bisa memiliki uang, saya bekerja serabutan. Saya kadang ikut bantu-bantu jadi kuli bangunan. Saya sekolah di pagi hari dan kemudian bekerja sore.
Mulai Berlatih Tinju
Saat saya kelas tiga, saya datang ke gimnasium dan bertemu pelatih tinju bernama Pak Simon Nahumury. Saya bilang bahwa saya ingin ikut latihan tinju. Pak Simon langsung meminta saya datang esok harinya.
Sejak itu, saya bergabung latihan tinju setiap pulang sekolah. Saya mulai berlatih tinju karena hobi dan ingin berprestasi.
Ketika pertama kali berlatih tinju, saya sama sekali tidak merasa berat dan kelelahan. Mungkin karena sejak kecil saya sudah sering ke kebun, sering kerja keras. Jadi latihan tinju tidak terlalu berat untuk dijalani.
Tiga bulan berlatih tinju, saya ikut kejuaraan. Pertama kali naik ring untuk bertanding, saya merasa gugup. Saya tegang, keluar keringat tetapi merasa udara dingin. Saya demam panggung.
Tetapi saya langsung jadi juara di turnamen itu. Saya tiga kali main untuk jadi juara. Jadi, tiga bulan turnamen, saya langsung juara.
Setelah menang, saya langsung dapat beasiswa dari sekolah hingga lulus.
Seiring saya aktif mengikuti berbagai turnamen tinju, ada tawaran dari Pak AKP Wim Sapulete [mantan petinju yang juga berprofesi sebagai polisi] untuk melanjutkan karier tinju di Tangerang setelah saya lulus SMA di tahun 2011.
Saat itu, saya hanya modal nekat saja menerima tawaran itu. Setelah saya dibelikan tiket, saya pergi ke Jakarta hanya dengan modal uang Rp5.000 di kantong.
Karena hanya punya Rp5.000, saat pesawat transit di Makassar, saya tidak makan sama sekali. Mau beli apa di bandara dengan uang Rp5.000?
Setelah tiba di Tangerang, saya berlatih di sasana milik Pak Wim. Saya berutang budi pada beliau dan keluarganya karena mereka yang menampung saya selama di Tangerang.
Bangga Pakai Seragam Tentara
Dalam periode 2011-2014 sebenarnya itu adalah masa-masa bimbang saya sebagai petinju. Saya masih memendam hasrat untuk jadi prajurit TNI karena jadi prajurit TNI juga merupakan cita-cita saya sejak kecil.
Tetapi saya sama sekali tidak pernah mencoba untuk ikut tes masuk TNI lewat jalur normal. Mungkin saya takut untuk mencoba.
Saya sempat masuk pelatnas tinju junior tetapi kemudian keluar karena saya sakit akibat terlalu banyak latihan.
Pada masa itu, saya mendapat uang saku karena saya termasuk atlet Banten. Uang saku yang saya terima, setengah saya kirimkan ke orang tua. Saya memang sudah mulai bantu-bantu untuk membiayai adik-adik saya sekolah.
Saat itu saya masih sering berpikir apakah dengan tinju masa depan bisa bagus. Namun saat saya ragu, saya hanya berusaha untuk terus latihan sambil meyakinkan diri bahwa tinju adalah jalan saya.
Ongen Saknosiwi berhasil jadi prajurit TBI AU dan tetap bisa menekuni dunia tinju.
Pada 2014, saya bertanding di Sarung Tinju Emas di Medan. Saat itu saya kalah di penyisihan pertama. Tetapi pada saat bersamaan, ternyata ada tawaran dari Kolonel Siswanta untuk masuk TNI Angkatan Udara dan bergabung dengan Dirgantara Boxing.
Tentu saya tidak menyangka mendapat tawaran itu dan langsung mengiyakan. Tetapi, dapat tawaran masuk TNI AU bukan berarti saya langsung lolos masuk.
Saya tetap ikut seleksi, mulai psikotes hingga tes fisik. Dalam tes fisik, saya mampu melaluinya dengan baik. Bila batas lari yang diwajibkan adalah enam putaran lapangan sepak bola, saya bisa melakukan delapan putaran. Begitu juga dengan tes push up dan yang lain. Latihan sehari-hari petinju begitu membantu saya.
Saya akhirnya masuk sebagai anggota TNI AU. Begitu pertama kali saya dapat seragam, saya langsung pakai. Saya kemudian terus berdiri di depan kaca memandangi diri saya yang pakai seragam, ha ha ha..
Hari-hari saya sebagai prajurit TNI AU diisi dengan tugas prajurit dan juga latihan tinju. Namun bila ada persiapan pertandingan, saya mendapat izin untuk melakukan persiapan agar lebih fokus.
Di awal masuk TNI AU, saya masih berstatus sebagai petinju amatir. Namun begitu kalah di PON 2016, saya berpikir untuk menyudahi karier amatir dan terjun ke profesional.
Saya langsung debut pada bulan November dan menang KO. Bagi saya, tinju profesional lebih menantang. Tidak ada pelindung, ronde lebih panjang.
Sejak turun ke profesional, cita-cita saya sudah jadi juara dunia. Saya ingin rekor bagus, ingin angkat nama keluarga, ingin angkat nama TNI Angkatan Udara, ingin angkat nama Indonesia.
Bergabung dengan Mahkota membuat Ongen Saknosiwi bisa punya jalan bagus menuju pertarungan perebutan gelar juara dunia.Bergabung dengan Mahkota membuat Ongen Saknosiwi bisa punya jalan bagus menuju pertarungan perebutan gelar juara dunia. (dok. Mahkota Boxing Series)
Sebagai petinju yang bisa menang KO dan TKO di tujuh laga awal, semua itu tidak bisa diprediksi. Dalam tinju, tidak ada yang bisa diprediksi di atas ring. Mungkin karena lawan lengah, terus kena pukulan saya, itu yang membuat mereka KO.
Usai memenangkan laga keenam, saya dihubungi oleh Mahkota Boxing Promotions. Bagi saya, ini termasuk sebuah keberuntungan karena nama Mahkota sudah merupakan nama besar di dunia tinju.
Mungkin masih banyak petinju yang lebih baik dari saya di Indonesia, namun belum beruntung. Saya mujur bisa masuk Mahkota sehingga rencana pertarungan saya menjadi lebih baik.
Rebut Juara Dunia
Dalam pertandingan kedelapan, saya menghadapi Marco Demecillo dalam perebutan sabuk juara dunia kelas bulu versi International Boxing Association (IBA). Sejak awal saya sudah mempersiapkan diri untuk bertarung dalam waktu lama.
Dia memang petinju yang kuat dan tahan pukul sehingga saya tidak lagi terkejut ketika pertandingan berlangsung sampai akhir. Begitu saya dipastikan jadi pemenang, saya tak bisa lagi berkata-kata, impian saya selama ini tercapai.
Target saya memang jadi juara dunia. Namun ini bukan akhir, ini adalah awal karier karena saya harus latihan lebih keras untuk tantangan-tantangan di depan yang lebih berat.
Atas apa yang terjadi pada hidup saya saat ini, saya bersyukur sekali pada Tuhan Yesus karena bisa sampai ke titik ini. Dahulu hidup kami mau makan nasi saja seminggu tidak tentu. Sepatu yang harganya hanya Rp35 ribu saja tidak kuat untuk membelinya.
Alas sepatu saya sudah sobek dan saya memakai potongan sandal jepit untuk jadi alas sepatu. Saya bersyukur bisa sampai di kondisi saat ini. Saya sangat bersyukur.
Saya bersyukur karena bisa ikut bantu menyekolahkan adik-adik saya. Adik saya sudah jadi prajurit TNI, lalu ada yang sekolah perawat, dan sekolah penerbang. Bagi saya hal itu merupakan sebuah kebahagiaan tak terhingga.
Saya akan selalu mengingat pesan orang tua saya untuk melaksanakan ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.
sumber : cnn
Tidak ada komentar