Ini Solusi Banjir Jabodetabek dari Para Ahli ITB
LINTAS PUBLIK, Komunitas Kopi Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar diskusi untuk mencari solusi dari permasalahan banjir yang terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Dalam diskusi tersebut beberapa pakar lulusan ITB dengan berbagai latar belakang pendidikan menawarkan beberapa solusi.
Ahli Hidrodinamika ITB Muslim Muin menawarkan solusi Gerakan Lumbung Air (Gela). Menurutnya, Gela merupakan solusi yang murah dan tidak membutuhkan biaya banyak. “Gela itu, tangkap, resapkan, gunakan dan sisanya baru dibuang,” ujar Muslim di Novotel, Jakarta Pusat, Rabu, 8 Januari 2020.
Menurut Muslim, Gela merupakan soft engineering yang menjadi keharusan, dan karena lahan yang terbatas, normalisasi sungai itu tidak bisa dilakukan. “Seberapa normal yang dibilang normal itu?” kata Muslim.
Untuk hujan yang terjadi beberapa hari lalu, Muslim melanjutkan, itu 1.000 tahunan. “Jika ingin normal 1.000 tahunan ya diatur salurannya 1.000 tahunan yang gede-gede. Atau kita coba tangkap airnya, kita pangkas intensitasnya, jadi kecil debitnya, murahkan, dari pada bikin pompa untuk 1.000 tahunan, bikin saluran 1.000 tahunan,” lanjutnya.
Sementara ahli Meteorologi ITB Armi Susandi dalam diskusi tersebut menawarkan tiga solusi untuk mengatasi banjir tersebut. Pertama adalah kesiapsiagaan banjir, baik jangka panjang maupun jangka pendek. “Ini bidang saya, karena ini penting, kita bisa menentukan mau jangka panjang atau pendek, untuk sistem peringatan dini kita,” tutur Armi.
Armi berujar, perlu adanya riset mengenai cara membuat sistem informasi yang baik, sehingga jika ada potensi hujan maka pompa dipastikan berfungsi dan gorong-gorong harus bersih. Menurut Armi, peristiwa banjir awal tahun ini memiliki indikasi bahwa pompa saat banjir tidak berfungsi.
“Pasti ada sesuatu, bisa karena lambat mengoperasikannya, karena jika terlambat itu tidak bisa berfungsi, akan mati, jadi harus pas waktunya,” kata Armi.
Kemudian solusi kedua yang ditawarkan adalah konsep naturalisasi dan normalisasi sungai. “Menurut saya, konsep ini bagus dua-duanya, hanya butuh lahan untuk naturalisasi, karena teorinya perlu lahan kiri kanan sungai, nah mungkinkan kita menggusur penduduk?” ujar Armi.
Namun, Armi melanjutkan, hal tersebut berat untuk di hilir Jakarta, tapi di hulu sangat mungkin sekali. Jadi konsep tersebut berbenturan dengan masyarakat dan tidak disukai banyak pihak, ditambah dengan jenis tanahnya adalah tanah lempung seperti tanah liat, sehingga potensi penyerapannya menjadi rendah.
Sementara normalisasi menjadi peluang lain. Di Padang, Armi mencontohkan, normalisasi dilakukan, tapi bukan di hilir, melainkan di hulu.
“Nah lokasinya di mana untuk normalisasi dan naturalisasi? Di hulu naturalisasi, di hilir normalisasi. Kalau tidak kita akan berdebat terus, ini akan butuh waktu dan lahan. Di Korea betul sudah melakukan naturalisasi tapi prosesnya normalisasi dulu, perbaiki lingkungannya, baru terakhir naturalisasi,” tutur Armi.
Solusi ketiga adalah Teknologi Modifikasi Cuaca. Menurutnya, upaya BNPB melakukan TMC itu tidak efektif saat ini, efektifnya tanggal 31 Januari 2020. “Tapi tidak apa-apa, yang pentingkan upaya. Ini penting, setidaknya 1-10 Februari bisa kita siapkan dengan baik, kapan sebaiknya TMC dibuka,” lanjut Armi.
Sedangkan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Jehansyah Siregar membenarkan kata budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan bukan airnya yang masuk ke perumahan, tapi perumahannya lah yang masuk daerah air. “Itu yang terjadi, jadi Jakarta itu memang daerah air,” katanya.
Dari sisi permukiman, Jehan menyatakan, normalisasi dengan betonisasi hanya sedikit mengambil lahan sempadan sungai yang sudah diduduki warga. Sedangkan naturalisasi benar-benar mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula.
“Jadi kan sudah ada Undang-Undang Sumber Daya Air itu lebarnya kan kanan kiri itu 50 meter. Kalau di luar kota itu 200 meter. Undang-undang juga mengatakan bahwa DAS itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai,” tutur Jehan.
Normalisasi juga harus diiringi dengan penggantian lahan dan relokasi penduduk yang seperlunya saja, yaitu sebanyak satu jalur deret bangunan yang paling pinggir sungai. Sedangkan naturalisasi menuntut adanya penataan pemukiman yang lebih luas dan komprehensif.
Isu tersebut sudah mulai masuk bidangnya di perumahan dan permukiman. Namun, penanganannya tidak bisa hanya sebatas mengganti rugi lahan sebagai tambahan uang proyek, karena dampaknya akan menyakitkan bagi masyarakat, diganti rugi, pergi, lalu miskin lagi. “Naturalisasi itu lebih berkelanjutan karena lebih pro people dan pro environment, inilah yang harus kita lakukan,” tambah Jehan.
Sehingga, menurut Jehan, yang juga seorang arsitek, kritik naturalisasi tidak realistis mengingat terlalu banyak permukiman warga yang harus dipindahkan ini harus dijawab. Pertama, kata dia, dengan naturalisasi palung sempadan sungai bisa dikembalikan hingga lebar total 200 meter yang sesuai dengan UU Sumber Daya Air.
“Masyarakat yang terdampak diberi program perumahan permukiman yang efektif dan komprehensif, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan bukan hanya dana ganti rugi sebagaimana proyek pengairan biasa,” tutur Jehan. “Kemudian menambah RTH kota secara signifikan. Ini poin saya, kalau 13 sungai di Jakarta dinaturalisasikan kanan kiri 50 meter, bisa meningkatkan RTH.”
sumber : temp
Ahli Hidrodinamika ITB Muslim Muin menawarkan solusi Gerakan Lumbung Air (Gela). Menurutnya, Gela merupakan solusi yang murah dan tidak membutuhkan biaya banyak. “Gela itu, tangkap, resapkan, gunakan dan sisanya baru dibuang,” ujar Muslim di Novotel, Jakarta Pusat, Rabu, 8 Januari 2020.
Menurut Muslim, Gela merupakan soft engineering yang menjadi keharusan, dan karena lahan yang terbatas, normalisasi sungai itu tidak bisa dilakukan. “Seberapa normal yang dibilang normal itu?” kata Muslim.
Untuk hujan yang terjadi beberapa hari lalu, Muslim melanjutkan, itu 1.000 tahunan. “Jika ingin normal 1.000 tahunan ya diatur salurannya 1.000 tahunan yang gede-gede. Atau kita coba tangkap airnya, kita pangkas intensitasnya, jadi kecil debitnya, murahkan, dari pada bikin pompa untuk 1.000 tahunan, bikin saluran 1.000 tahunan,” lanjutnya.
Sementara ahli Meteorologi ITB Armi Susandi dalam diskusi tersebut menawarkan tiga solusi untuk mengatasi banjir tersebut. Pertama adalah kesiapsiagaan banjir, baik jangka panjang maupun jangka pendek. “Ini bidang saya, karena ini penting, kita bisa menentukan mau jangka panjang atau pendek, untuk sistem peringatan dini kita,” tutur Armi.
Armi berujar, perlu adanya riset mengenai cara membuat sistem informasi yang baik, sehingga jika ada potensi hujan maka pompa dipastikan berfungsi dan gorong-gorong harus bersih. Menurut Armi, peristiwa banjir awal tahun ini memiliki indikasi bahwa pompa saat banjir tidak berfungsi.
“Pasti ada sesuatu, bisa karena lambat mengoperasikannya, karena jika terlambat itu tidak bisa berfungsi, akan mati, jadi harus pas waktunya,” kata Armi.
Kemudian solusi kedua yang ditawarkan adalah konsep naturalisasi dan normalisasi sungai. “Menurut saya, konsep ini bagus dua-duanya, hanya butuh lahan untuk naturalisasi, karena teorinya perlu lahan kiri kanan sungai, nah mungkinkan kita menggusur penduduk?” ujar Armi.
Namun, Armi melanjutkan, hal tersebut berat untuk di hilir Jakarta, tapi di hulu sangat mungkin sekali. Jadi konsep tersebut berbenturan dengan masyarakat dan tidak disukai banyak pihak, ditambah dengan jenis tanahnya adalah tanah lempung seperti tanah liat, sehingga potensi penyerapannya menjadi rendah.
Sementara normalisasi menjadi peluang lain. Di Padang, Armi mencontohkan, normalisasi dilakukan, tapi bukan di hilir, melainkan di hulu.
“Nah lokasinya di mana untuk normalisasi dan naturalisasi? Di hulu naturalisasi, di hilir normalisasi. Kalau tidak kita akan berdebat terus, ini akan butuh waktu dan lahan. Di Korea betul sudah melakukan naturalisasi tapi prosesnya normalisasi dulu, perbaiki lingkungannya, baru terakhir naturalisasi,” tutur Armi.
Solusi ketiga adalah Teknologi Modifikasi Cuaca. Menurutnya, upaya BNPB melakukan TMC itu tidak efektif saat ini, efektifnya tanggal 31 Januari 2020. “Tapi tidak apa-apa, yang pentingkan upaya. Ini penting, setidaknya 1-10 Februari bisa kita siapkan dengan baik, kapan sebaiknya TMC dibuka,” lanjut Armi.
Sedangkan Ahli Perencanaan Kota dan Wilayah ITB Jehansyah Siregar membenarkan kata budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan bukan airnya yang masuk ke perumahan, tapi perumahannya lah yang masuk daerah air. “Itu yang terjadi, jadi Jakarta itu memang daerah air,” katanya.
Dari sisi permukiman, Jehan menyatakan, normalisasi dengan betonisasi hanya sedikit mengambil lahan sempadan sungai yang sudah diduduki warga. Sedangkan naturalisasi benar-benar mengembalikan penampang sungai baik palung maupun kedua sempadannya ke ukuran alami semula.
“Jadi kan sudah ada Undang-Undang Sumber Daya Air itu lebarnya kan kanan kiri itu 50 meter. Kalau di luar kota itu 200 meter. Undang-undang juga mengatakan bahwa DAS itu harus menyediakan sempadan sungai dan palung sungai,” tutur Jehan.
Normalisasi juga harus diiringi dengan penggantian lahan dan relokasi penduduk yang seperlunya saja, yaitu sebanyak satu jalur deret bangunan yang paling pinggir sungai. Sedangkan naturalisasi menuntut adanya penataan pemukiman yang lebih luas dan komprehensif.
Isu tersebut sudah mulai masuk bidangnya di perumahan dan permukiman. Namun, penanganannya tidak bisa hanya sebatas mengganti rugi lahan sebagai tambahan uang proyek, karena dampaknya akan menyakitkan bagi masyarakat, diganti rugi, pergi, lalu miskin lagi. “Naturalisasi itu lebih berkelanjutan karena lebih pro people dan pro environment, inilah yang harus kita lakukan,” tambah Jehan.
Sehingga, menurut Jehan, yang juga seorang arsitek, kritik naturalisasi tidak realistis mengingat terlalu banyak permukiman warga yang harus dipindahkan ini harus dijawab. Pertama, kata dia, dengan naturalisasi palung sempadan sungai bisa dikembalikan hingga lebar total 200 meter yang sesuai dengan UU Sumber Daya Air.
“Masyarakat yang terdampak diberi program perumahan permukiman yang efektif dan komprehensif, sehingga meningkatkan kesejahteraan dan bukan hanya dana ganti rugi sebagaimana proyek pengairan biasa,” tutur Jehan. “Kemudian menambah RTH kota secara signifikan. Ini poin saya, kalau 13 sungai di Jakarta dinaturalisasikan kanan kiri 50 meter, bisa meningkatkan RTH.”
sumber : temp
Tidak ada komentar