Mantan Petinju Jadi Tukang Pijat: Susah Cari Pelanggan
LINTAS PUBLIK, Ingat Suwarno Perico,? Dia adalah mantan petinju nasional dan juara Indonesia kelas welter yunior. Karir tinju pronya sudah sampai ke Jepang. Sekarang hidupnya susah dan sudah banting setir sebagai tukang pijat. Sudah dua minggu, namun belum laku alias belum dapat pasien.
Pria berusia 28 tahun Berkacamata minus ini hidup susah di kampong halamannya Desa Sumber gempol, Tulungagung, JawaTimur. Status pengangguran melekat kuat dalam hidupnya. Berbagai upaya telah dicoba, termasuk rencana membuka warung atau kedai mini jual indomie telor kopi dan rokok ketengan.Semua sia-sia.
Kegagalan tersebut mendorong Suwarno Perico, di usiatua 58 tahun, harus memilih hidup sebagai tukang pijat. Ini pilihan terakhir, yang dilakukannya dengan senang hati.
Suwarno Perico adalah mantan petinju professional bersama Sawunggaling Boxing Camp Surabaya, yang terkenal pada dekade 70-an, setelah berhasil mengantar Wongso Suseno sebagai petinju Indonesia pertama meraih gelar Asia OBF (sekarang OPBF).
Suwarno Perico satu perguruan denganYaniHagler, petinju plontos yang tahun 1985 diorbitkan promotor Boy Bolang, namun tumbang KO ronde 3 di tangan juara dunia IBF kelas terbang ringan asal Filipina, Dodie Penalosa. Laga berlangsung di Istora Senayan Jakarta, 12 Oktober 1985.
Suwarno Perico, anak dari seorang ibu penjual nasi pecel pinggir jalan di Malang, menjadi juara Indonesia kelas welter yunior di Stadion Batorokatong, Ponorogo, JawaTimur, 25 Maret 1989, menang angka melalui pertarungan 12 ronde melawan juara (almahum) Bongguk Kendy (Garuda Jaya Jakarta).
Kehilangan Gelar
Suwarno Perico kehilangan gelar di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 3 Juni 1989, kalah angka dalam pertarungan ulang melawan Bongguk Kendy, yang disaksikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Suwarno Perico pernah tampil pada kejuaraan OPBF kelas ringan di Jepang dan tumbang KO tak sampai 90detik di tangan juara yang hebat raja KO Tsuyoshi Hamada.
Sekarang Suwarno Perico yang sudah 25 tahun menduda hidup sendiri dalam kemiskinan di Desa Sumbergempol, Tulungagung, JawaTimur. Tidak punya apa-apa dan menumpang hidup di rumah saudaranya.
“Urip ra onok bondo (hidup tidak punya apa-apa).Tinggal pakaian yang melekat di tubuh,” lirihnya saat dihubungi awak media, kemarin.
Belajar
Di usianya yang sudah 58 tahun, Suwarno Perico harus memilih hidup sebagai tukang pijat.Ia sengaja datang ke Malang dan berguru kepada MintoHadi.
Minto Hadi adalah mantan juara kelas terbang terbaik Indonesia, era Aseng Promotion Surabaya, yang terkenal sukabagi-bagi uang. Minto Hadi menjadi tuna netra akibat tinju. Bola matanya rusak kemudian salah pengobatan di tangan seorang tabib membuat dunia ini menjadi gelap gulita.
“Saya sangat terimakasih kepada sahabat MintoHadi, juga kepada istri beliau, yang sangat ramah.Selama berguru, saya tinggal di sana dan dikasih makan. Gratis dan itulah arti persahabatan. Mas Minto itu orangnya baik sekali,” katanya.
“Mas Minto tulus mengajari saya. Ini masa depan saya. Usaha pijat bias buka di mana saja.Kapan saja kalau kita mau.Sehari bias menerapi dua pasien, misalkan begitu, berarti saya sudah bias makan untuk hidup,” ujarnya, yang di ujung karir tinjunya pada tahun1990, menikah dengan gadis turunanTionghoa di Surabaya.
Tidak berapa lama sang istri meninggal dunia, 25 tahun silam. Sampai sekarang Suwarno Perico yang belum dikarunia anak kuat menduda. Pernikahan itu tidak memberikan keturunan. Tetapi, Suwarno Perico mempunyai seorang putra sudah lulus SMA, yang diambil sebagai anak angkat sejak orok.
Belum Laku
Sudah lebih dua minggu sejak berguru kepada MintoHadi, Suwarno Perico masih tetap kosong.Belum laku. “Saya sudah usaha promosi via WhatsApp di Tulungagung dan sekitarnya.Ada dua orang yang tertarik, tapi di Mojosari danTuban. Itu terlalu jauh. Tidak mungkin,” katanya.
Barangkali harus lebih sabar lagi. “Saya lulus dan ukuran Mas Minto layak untuk meneruskan pekerjaan sebagai tukang pijat. Makanya saya berani buka sendiri.Saya tidak mau bergantung kepada orang lain. Ndak enak juga.Saya harus mandiri.Sayangnya, kok belum terima pasien. Belum ada orang yang merasakan pijat mantan juara Indonesia. Belum laku, sampai sekarang,” katanya.
Hidup ini bagai roda pedati. Berputar, kadang di ataskadang di bawah. Hidup manusia selaluberubah, kadang kaya dan kadang miskin.
“Sekarang sudah tidak punya apa-apa. Rumah sudah habis terjual,” katanya Suwarno Perico, pernah sebagai anggota wasit/hakim AsosiasiTinju Indonesia (ATI) Provinsi JawaTimur. Namun tinju pro mati suri.Karir wasit/hakim dihentikan.
Dari Kalijudan (tempat terkahirnya di Surabaya) ia merasa dibuang. “Itu saya alami sendiri. Saya ikut mengeluarkan uang untuk renovasi rumah. Belakangan saya dibuang.Tapi sudahlah.Saya sekarang mencoba bangkit dengan usaha pijat.Saya akan terus tawarkan ke teman-teman; ini loh jasa pijat mantan petinju nasional. Ha haha,” iatertawa di ujung telepon.
Tarif pijat, untuk sekali terapi biasanya Rp50.000 ataum sering dikasih lebih sebagai bonus.
“Sebagai permulaan saya tidak pasangtarif.Harga perkenalan. Pokoknya tidak pasang harga.Terserah, wanipiro, ayo tak turuti.”promosinya.
Sebelum ganti profesi tukang pijat, Suwarno Perico sempat bekerja sampai ke Sulawesi Selatan, sebagai sopir perusahaan.
sumber : posk
Pria berusia 28 tahun Berkacamata minus ini hidup susah di kampong halamannya Desa Sumber gempol, Tulungagung, JawaTimur. Status pengangguran melekat kuat dalam hidupnya. Berbagai upaya telah dicoba, termasuk rencana membuka warung atau kedai mini jual indomie telor kopi dan rokok ketengan.Semua sia-sia.
Suwarno Perico |
Suwarno Perico adalah mantan petinju professional bersama Sawunggaling Boxing Camp Surabaya, yang terkenal pada dekade 70-an, setelah berhasil mengantar Wongso Suseno sebagai petinju Indonesia pertama meraih gelar Asia OBF (sekarang OPBF).
Suwarno Perico satu perguruan denganYaniHagler, petinju plontos yang tahun 1985 diorbitkan promotor Boy Bolang, namun tumbang KO ronde 3 di tangan juara dunia IBF kelas terbang ringan asal Filipina, Dodie Penalosa. Laga berlangsung di Istora Senayan Jakarta, 12 Oktober 1985.
Suwarno Perico, anak dari seorang ibu penjual nasi pecel pinggir jalan di Malang, menjadi juara Indonesia kelas welter yunior di Stadion Batorokatong, Ponorogo, JawaTimur, 25 Maret 1989, menang angka melalui pertarungan 12 ronde melawan juara (almahum) Bongguk Kendy (Garuda Jaya Jakarta).
Kehilangan Gelar
Suwarno Perico kehilangan gelar di Stadion Kridosono, Yogyakarta, 3 Juni 1989, kalah angka dalam pertarungan ulang melawan Bongguk Kendy, yang disaksikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Suwarno Perico pernah tampil pada kejuaraan OPBF kelas ringan di Jepang dan tumbang KO tak sampai 90detik di tangan juara yang hebat raja KO Tsuyoshi Hamada.
Sekarang Suwarno Perico yang sudah 25 tahun menduda hidup sendiri dalam kemiskinan di Desa Sumbergempol, Tulungagung, JawaTimur. Tidak punya apa-apa dan menumpang hidup di rumah saudaranya.
“Urip ra onok bondo (hidup tidak punya apa-apa).Tinggal pakaian yang melekat di tubuh,” lirihnya saat dihubungi awak media, kemarin.
Belajar
Di usianya yang sudah 58 tahun, Suwarno Perico harus memilih hidup sebagai tukang pijat.Ia sengaja datang ke Malang dan berguru kepada MintoHadi.
Minto Hadi adalah mantan juara kelas terbang terbaik Indonesia, era Aseng Promotion Surabaya, yang terkenal sukabagi-bagi uang. Minto Hadi menjadi tuna netra akibat tinju. Bola matanya rusak kemudian salah pengobatan di tangan seorang tabib membuat dunia ini menjadi gelap gulita.
“Saya sangat terimakasih kepada sahabat MintoHadi, juga kepada istri beliau, yang sangat ramah.Selama berguru, saya tinggal di sana dan dikasih makan. Gratis dan itulah arti persahabatan. Mas Minto itu orangnya baik sekali,” katanya.
“Mas Minto tulus mengajari saya. Ini masa depan saya. Usaha pijat bias buka di mana saja.Kapan saja kalau kita mau.Sehari bias menerapi dua pasien, misalkan begitu, berarti saya sudah bias makan untuk hidup,” ujarnya, yang di ujung karir tinjunya pada tahun1990, menikah dengan gadis turunanTionghoa di Surabaya.
Tidak berapa lama sang istri meninggal dunia, 25 tahun silam. Sampai sekarang Suwarno Perico yang belum dikarunia anak kuat menduda. Pernikahan itu tidak memberikan keturunan. Tetapi, Suwarno Perico mempunyai seorang putra sudah lulus SMA, yang diambil sebagai anak angkat sejak orok.
Belum Laku
Sudah lebih dua minggu sejak berguru kepada MintoHadi, Suwarno Perico masih tetap kosong.Belum laku. “Saya sudah usaha promosi via WhatsApp di Tulungagung dan sekitarnya.Ada dua orang yang tertarik, tapi di Mojosari danTuban. Itu terlalu jauh. Tidak mungkin,” katanya.
Barangkali harus lebih sabar lagi. “Saya lulus dan ukuran Mas Minto layak untuk meneruskan pekerjaan sebagai tukang pijat. Makanya saya berani buka sendiri.Saya tidak mau bergantung kepada orang lain. Ndak enak juga.Saya harus mandiri.Sayangnya, kok belum terima pasien. Belum ada orang yang merasakan pijat mantan juara Indonesia. Belum laku, sampai sekarang,” katanya.
Hidup ini bagai roda pedati. Berputar, kadang di ataskadang di bawah. Hidup manusia selaluberubah, kadang kaya dan kadang miskin.
“Sekarang sudah tidak punya apa-apa. Rumah sudah habis terjual,” katanya Suwarno Perico, pernah sebagai anggota wasit/hakim AsosiasiTinju Indonesia (ATI) Provinsi JawaTimur. Namun tinju pro mati suri.Karir wasit/hakim dihentikan.
Dari Kalijudan (tempat terkahirnya di Surabaya) ia merasa dibuang. “Itu saya alami sendiri. Saya ikut mengeluarkan uang untuk renovasi rumah. Belakangan saya dibuang.Tapi sudahlah.Saya sekarang mencoba bangkit dengan usaha pijat.Saya akan terus tawarkan ke teman-teman; ini loh jasa pijat mantan petinju nasional. Ha haha,” iatertawa di ujung telepon.
Tarif pijat, untuk sekali terapi biasanya Rp50.000 ataum sering dikasih lebih sebagai bonus.
“Sebagai permulaan saya tidak pasangtarif.Harga perkenalan. Pokoknya tidak pasang harga.Terserah, wanipiro, ayo tak turuti.”promosinya.
Sebelum ganti profesi tukang pijat, Suwarno Perico sempat bekerja sampai ke Sulawesi Selatan, sebagai sopir perusahaan.
sumber : posk
Tidak ada komentar