Syarat Ketat Lockdown, RI Sanggup Nggak?
LINTAS PUBLIK, Sejumlah negara telah mengambil keputusan lockdown menyusul kian meluasnya wabah virus corona atau COVID-19. Apakah Indonesia yang juga terjangkit virus corona perlu melakukan lockdown?
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Edhie Purnawan menyampaikan pendapatnya terkait persoalan tersebut. Menurut Edhie, beberapa hal perlu diperhatikan jika Indonesia memutuskan lockdown atau mengunci/isolasi wilayah.
"Pastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Jadi misalnya, lockdown adalah dua minggu, maka pastikan kebutuhan dasar masyarakat selama dua minggu itu tersedia dan cukup dari hari ke hari tanpa ada kelangkaan di pasar, toko tradisional, toko modern, dan supermarket. Pemerintah harus segera bekerja sama dengan pengusaha secara maksimal," kata Edhi saat dihubungi detikcom, Selasa (17/3/2020).
Edhie mencontohkan di Filipina, ketika Presiden Duterte bekerja sama dengan dua konglomerat besar negara tersebut, San Miguel Corporation dan Ayala Corporation untuk menyediakan makanan.
Kemudian jika melihat UU Nomor 6/2018 mengenai Karantina, persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menetapkan status darurat kesehatan nasional dan memberlakukan karantina/isolasi, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, hingga karantina wilayah.
"Pasal 53, 54, dan 55 UU tersebut mengamanatkan jika dilakukan karantina wilayah (lockdown), maka persyaratannya harus terjadi penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. Syarat ini sudah terpenuhi," ulasnya.
Namun, lanjutnya, lockdown sendiri memang berimplikasi pada terhentinya kegiatan ekonomi. Dampaknya, negara harus bersiap dari sisi ekonomi, seperti memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan pokok di wilayah yang di-lockdown.
"Jangan asal lockdown tanpa persiapan yang cukup. Lockdown di Wuhan ketika itu, semua transportasi publik, bus, kereta, penerbangan, hingga perjalanan kapal berhenti. Sekitar 50 juta penduduk Wuhan terkunci di Wuhan tak bisa kemana-mana," kata dia.
"Contoh lain di Italia yang di-lockdown secara masif pada 9 Maret 2020, Italia me-lockdown sampai ke seluruh penjuru negara, setelah sebelumnya me-lockdown hanya di Italia bagian utara. Inilah dampak nyata dari lockdown. Polisi dan tentara berjaga-jaga di pintu keluar masuk wilayah, transportasi terhenti. Kegiatan ekonomi vakum, kecuali yang bisa dilakukan secara virtual dari rumah dan belanja kebutuhan pokok di toko terdekat saja," sambungnya.
Edhi menambahkan, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus diperhatikan jika pemerintah Indonesia akan mengambil keputusan lockdown. Yaitu sektor-sektor yang mengandalkan teknologi tradisional akan terkena dampak paling buruk.
"Jika alat transportasi publik berhenti, berarti sebagian pasar juga akan berhenti, supply makanan lalu diambil alih oleh pemerintah beserta swasta besar yang ditunjuk untuk menggantikan. Kalau Indonesia sudah siap dengan hal ini, maka boleh saja lockdown dilakukan. Kalau belum, maka tunggu dulu," sebutnya.
Meski demikian, kesehatan menurutnya memang prioritas nomor satu. Kalau dilakukan lockdown, maka koordinasi dan kerja sama antara pemerintah dengan kalangan bisnis dan tentu saja dengan masyarakat secara masif harus 24 jam sehari 7 hari seminggu yang sangat wajib dilakukan untuk memastikan dampak lockdown yang minimal kepada masyarakat. Terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok yang tersedia secara pasti.
Tanpa itu, maka lockdown akan membawa masalah yang lebih besar terhadap kesehatan masyarakat.
"Prasyarat harus disiapkan sebaik-baiknya terlebih dahulu dengan cepat oleh pemerintah dan swasta besar yang ditunjuk, atau oleh BUMN, dan oleh pemda serta BUMD yang wilayahnya di-lockdown," ujar Edhie.
Karena itu, jika tidak dilakukan lockdown maka pemerintah harus dengan sangat segera bisa mendatangkan para ahli dan peralatan yang sangat memadai di segenap penjuru Indonesia untuk bisa mendeteksi, mengarantina, dan memutus rantai penyebaran virus Corona.
"Harus sangat cepat. Kita berkejaran dengan waktu. Masyarakat harus dididik dengan cepat dan penuh kesigapan untuk mematuhi petunjuk pemerintah pusat secara mengikat, atau ada sanksi berat bagi yang tidak taat. Jangan sampai Indonesia menjadi seperti Italia dimana penularan begitu masif, sehingga tidak lagi bisa tertampung para penderita COVID-19, naudzubillah," pungkasnya.
sumber : det
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Edhie Purnawan menyampaikan pendapatnya terkait persoalan tersebut. Menurut Edhie, beberapa hal perlu diperhatikan jika Indonesia memutuskan lockdown atau mengunci/isolasi wilayah.
"Pastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Jadi misalnya, lockdown adalah dua minggu, maka pastikan kebutuhan dasar masyarakat selama dua minggu itu tersedia dan cukup dari hari ke hari tanpa ada kelangkaan di pasar, toko tradisional, toko modern, dan supermarket. Pemerintah harus segera bekerja sama dengan pengusaha secara maksimal," kata Edhi saat dihubungi detikcom, Selasa (17/3/2020).
Kondisi arus lalu lintas di Jalan Slamet Riyadi tampak sepi setelah ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) Virus Corono, Minggu (15/3/2020). /tribun |
Kemudian jika melihat UU Nomor 6/2018 mengenai Karantina, persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pemerintah menetapkan status darurat kesehatan nasional dan memberlakukan karantina/isolasi, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, hingga karantina wilayah.
"Pasal 53, 54, dan 55 UU tersebut mengamanatkan jika dilakukan karantina wilayah (lockdown), maka persyaratannya harus terjadi penyebaran penyakit di antara masyarakat sehingga harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah tersebut. Syarat ini sudah terpenuhi," ulasnya.
Namun, lanjutnya, lockdown sendiri memang berimplikasi pada terhentinya kegiatan ekonomi. Dampaknya, negara harus bersiap dari sisi ekonomi, seperti memenuhi kebutuhan masyarakat terutama kebutuhan pokok di wilayah yang di-lockdown.
"Jangan asal lockdown tanpa persiapan yang cukup. Lockdown di Wuhan ketika itu, semua transportasi publik, bus, kereta, penerbangan, hingga perjalanan kapal berhenti. Sekitar 50 juta penduduk Wuhan terkunci di Wuhan tak bisa kemana-mana," kata dia.
"Contoh lain di Italia yang di-lockdown secara masif pada 9 Maret 2020, Italia me-lockdown sampai ke seluruh penjuru negara, setelah sebelumnya me-lockdown hanya di Italia bagian utara. Inilah dampak nyata dari lockdown. Polisi dan tentara berjaga-jaga di pintu keluar masuk wilayah, transportasi terhenti. Kegiatan ekonomi vakum, kecuali yang bisa dilakukan secara virtual dari rumah dan belanja kebutuhan pokok di toko terdekat saja," sambungnya.
Edhi menambahkan, ada pertimbangan-pertimbangan lain yang harus diperhatikan jika pemerintah Indonesia akan mengambil keputusan lockdown. Yaitu sektor-sektor yang mengandalkan teknologi tradisional akan terkena dampak paling buruk.
"Jika alat transportasi publik berhenti, berarti sebagian pasar juga akan berhenti, supply makanan lalu diambil alih oleh pemerintah beserta swasta besar yang ditunjuk untuk menggantikan. Kalau Indonesia sudah siap dengan hal ini, maka boleh saja lockdown dilakukan. Kalau belum, maka tunggu dulu," sebutnya.
Meski demikian, kesehatan menurutnya memang prioritas nomor satu. Kalau dilakukan lockdown, maka koordinasi dan kerja sama antara pemerintah dengan kalangan bisnis dan tentu saja dengan masyarakat secara masif harus 24 jam sehari 7 hari seminggu yang sangat wajib dilakukan untuk memastikan dampak lockdown yang minimal kepada masyarakat. Terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok yang tersedia secara pasti.
Tanpa itu, maka lockdown akan membawa masalah yang lebih besar terhadap kesehatan masyarakat.
"Prasyarat harus disiapkan sebaik-baiknya terlebih dahulu dengan cepat oleh pemerintah dan swasta besar yang ditunjuk, atau oleh BUMN, dan oleh pemda serta BUMD yang wilayahnya di-lockdown," ujar Edhie.
Karena itu, jika tidak dilakukan lockdown maka pemerintah harus dengan sangat segera bisa mendatangkan para ahli dan peralatan yang sangat memadai di segenap penjuru Indonesia untuk bisa mendeteksi, mengarantina, dan memutus rantai penyebaran virus Corona.
"Harus sangat cepat. Kita berkejaran dengan waktu. Masyarakat harus dididik dengan cepat dan penuh kesigapan untuk mematuhi petunjuk pemerintah pusat secara mengikat, atau ada sanksi berat bagi yang tidak taat. Jangan sampai Indonesia menjadi seperti Italia dimana penularan begitu masif, sehingga tidak lagi bisa tertampung para penderita COVID-19, naudzubillah," pungkasnya.
sumber : det
Tidak ada komentar