Analisis BMKG-UGM Soal Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran Corona
LINTAS PUBLIK, Badan Meterorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika serta didukung Guru Besar dan Doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM melakukan kajian tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus Corona. Hasil kajian menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah COVID-19.
BACA JUGA Ini Persebaran Virus Corona di Sumut, Warga Medan dan DS Terbanyak Positif Corona
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengatakan kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur. Menurutnya, kajian oleh Tim Gabungan BMKG dan UGM ini menjelaskan bahwa analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelitian mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi.
"Tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua," kata Dwikorita dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/4/2020).
Dia menuturkan meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Menurutnya, kondisi cuaca/iklim, serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19. Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia sejak awal bulan Maret 2020.
"Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70 - 95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia," jelasnya.
Dwikorita menyebut apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat. Maka, kata dia, faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Selain itu, dia mengatakan masyarakat perlu waspadai ketika memasuki bulan April sampai Mei ini. Menurutnya, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah.
"Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60% s/d 80%," katanya.
"Serta tentunya dengan lebih ketat menerapkan "Physical Distancing" dan pembatasan mobilitas orang ataupun dengan "Tinggal di Rumah", disertai intervensi kesehatan masyarakat, sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi penyebaran wabah Covid-19 secara lebih efektif. Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif," sambungnya.
sumber : det
BACA JUGA Ini Persebaran Virus Corona di Sumut, Warga Medan dan DS Terbanyak Positif Corona
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati/Nnet |
"Tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua," kata Dwikorita dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/4/2020).
Dia menuturkan meningkatnya kasus pada gelombang ke dua saat ini di Indonesia tampaknya lebih kuat dipengaruhi oleh pengaruh pergerakan atau mobilitas manusia dan interaksi sosial. Menurutnya, kondisi cuaca/iklim, serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah COVID-19. Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia sejak awal bulan Maret 2020.
"Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70 - 95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak COVID-19. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 COVID-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia," jelasnya.
Dwikorita menyebut apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat. Maka, kata dia, faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
Selain itu, dia mengatakan masyarakat perlu waspadai ketika memasuki bulan April sampai Mei ini. Menurutnya, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah Demam Berdarah.
"Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60% s/d 80%," katanya.
"Serta tentunya dengan lebih ketat menerapkan "Physical Distancing" dan pembatasan mobilitas orang ataupun dengan "Tinggal di Rumah", disertai intervensi kesehatan masyarakat, sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi penyebaran wabah Covid-19 secara lebih efektif. Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif," sambungnya.
sumber : det
Tidak ada komentar