Buruh Tolak Aturan Bayar THR Bisa Dicicil atau Ditunda
LINTAS PUBLIK, Buruh tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak ketentuan tunjangan hari raya (THR) keagamaan melalui surat edaran (SE) yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah.
Ada sejumlah poin dalam SE tersebut, salah satunya terkait perusahaan yang tidak mampu membayar THR bisa menyicil atau menunda THR dengan ketentuan dialog untuk mencapai kesepakatan dengan pekerja/buruh.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, ada beberapa alasan pihaknya menolak SE tersebut. Pertama, SE itu seharusnya punya cantolan hukum yang jelas.
"Yang pertama seharusnya di dalam SE itu mencantumkan dengan jelas cantolan hukumnya apa dalam THR itu. Cantolan dalam THR itu PP Nomor 78 Tahun 2015 yang menyatakan dua hal. Satu setiap pengusaha wajib membayar THR, cantolan hukumnya jelas," katanya, Kamis (7/5/2020).
Masih mengacu dalam PP tersebut, pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun mendapat THR minimal 1 bulan upah. Sementara pekerja yang di bawah 1 bulan dihitung proporsional.
"Fakta di lapanganya tidak semua perusahaan tidak mampu, banyak sekali perusahaan yang mampu," ujarnya.
Kedua, pihaknya menolak karena dalam SE tersebut karena menggeneralisir semua perusahaan. Sehingga, perusahaan bisa menyicil hingga menunda pembayaran THR.
"Kedua kami menolak yang mengeneralisir, kan dalam klausul SE yang baru itu generalisir bahwa setiap perusahaan boleh melakukan penundaan, mengurangi nilai THR di bawah 100% atau bahkan tidak membayar sama sekali, atau mencicil. Klausul itu menjelaskan tentang hal-hal tesebut. Kami menolak itu," terangnya.
Jelas Said, yang disebut THR sendiri tidak ada yang dicicil. Kemudian, THR mesti dibayarkan saat lebaran karena untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Tujuan THR apa sih, coba baca PP 78 tujuan THR menjaga daya beli buruh atau masyarakat agar pada saat lebaran dia punya kemampuan membeli. Harga-harga pasti naik, nggak mungkin nggak naik," ujarnya.
"SE tidak punya kekuatan hukum dia bertentangan dengan PP, buruh boleh menolak SE tersebut," imbuhnya.
sumber : det
Ada sejumlah poin dalam SE tersebut, salah satunya terkait perusahaan yang tidak mampu membayar THR bisa menyicil atau menunda THR dengan ketentuan dialog untuk mencapai kesepakatan dengan pekerja/buruh.
ilustrasi demo buruh |
"Yang pertama seharusnya di dalam SE itu mencantumkan dengan jelas cantolan hukumnya apa dalam THR itu. Cantolan dalam THR itu PP Nomor 78 Tahun 2015 yang menyatakan dua hal. Satu setiap pengusaha wajib membayar THR, cantolan hukumnya jelas," katanya, Kamis (7/5/2020).
Masih mengacu dalam PP tersebut, pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun mendapat THR minimal 1 bulan upah. Sementara pekerja yang di bawah 1 bulan dihitung proporsional.
"Fakta di lapanganya tidak semua perusahaan tidak mampu, banyak sekali perusahaan yang mampu," ujarnya.
Kedua, pihaknya menolak karena dalam SE tersebut karena menggeneralisir semua perusahaan. Sehingga, perusahaan bisa menyicil hingga menunda pembayaran THR.
"Kedua kami menolak yang mengeneralisir, kan dalam klausul SE yang baru itu generalisir bahwa setiap perusahaan boleh melakukan penundaan, mengurangi nilai THR di bawah 100% atau bahkan tidak membayar sama sekali, atau mencicil. Klausul itu menjelaskan tentang hal-hal tesebut. Kami menolak itu," terangnya.
Jelas Said, yang disebut THR sendiri tidak ada yang dicicil. Kemudian, THR mesti dibayarkan saat lebaran karena untuk menjaga daya beli masyarakat.
"Tujuan THR apa sih, coba baca PP 78 tujuan THR menjaga daya beli buruh atau masyarakat agar pada saat lebaran dia punya kemampuan membeli. Harga-harga pasti naik, nggak mungkin nggak naik," ujarnya.
"SE tidak punya kekuatan hukum dia bertentangan dengan PP, buruh boleh menolak SE tersebut," imbuhnya.
sumber : det
Tidak ada komentar