Dampak Konflik AS-China di Natuna versi Bakamla
LINTAS PUBLIK, Badan Keamanan Laut (Bakamla) menilai beberapa wilayah RI berpotensi terdampak jika tensi AS-China memanas di Laut China Selatan. Kepala Bakamla Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan Natuna, salah satu yang akan terdampak karena letaknya berdekatan dengan area konflik.
Aan juga khawatir penduduk di Natuna yang merasa terisolir akan bergerak dan ikut terjun dalam konflik panas AS-China.
"Tentu saja, dampak lainnya yang berpotensi ialah krisis ekonomi karena terhentinya aktivitas ekonomi kelautan yang terkait langsung dengan Laut China Selata," ujarnya Jumat (26/6) lalu.
Dampak global yang juga menghantui, yaitu gangguan terhadap lalu lintas pelayaran akan terganggu. Apalagi, wilayah Laut China Selatan adalah perairan strategis pelayaran baik komersil maupun niaga. Ia menilai dampak utama perang adalah dampak jangka panjang yang akan merugikan negara manapun.
Karenanya, Aan mengingatkan peran negara untuk hadir di Perairan Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Kehadiran itu bisa diwakili oleh aparat pemerintah maupun nelayan sebagai simbol negara.
Aan mengatakan Indonesia seharusnya tak hanya mengklaim memiliki wilayah perairan Natuna atau Laut China Selatan. Menurutnya, klaim itu akan sia-sia jika tak dibarengi aksi nyata berupa kehadiran simbol negara di wilayah tersebut.
Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmada I TNI-AL Letkol Laut Fajar Tri Rohadi mengatakan pihaknya telah menyiagakan empat buah kapal perang KRI jenis Fregat dan Korvet (kapal anti kapal selam).
Selain upaya antisipasi potensi konflik di Laut China Selatan, Kapal-kapal tersebut juga digunakan untuk patroli rutin di wilayah Natuna, mengingat wilayah tersebut masuk dalam perairan Indonesia.
Tak hanya kapal, Fajar juga menyebut di setiap kapal yang disiagakan ada kru kapal sekitar 100-an orang yang bersiaga. Dia juga mengatakan di wilayah Natuna sendiri telah bersiaga pasukan TNI dari satuan yang terintegrasi.
"Pasti kita akan terus melindungi kedaulatan dan kepentingan NKRI. TNI AL, dalam hal ini, Koarmada I terus menyiagakan unsur KRI di Natuna dan antisipasi meluasnya dampak naiknya tensi di LCS," kata Fajar.
Sebagaimana diketahui, persoalan sengketa Laut China Selatan terus bergulir dan bahkan menghangat belakangan ini. Hal itu tidak lain dampak dari sikap Amerika Serikat yang melakukan intervensi dengan menerjunkan kekuatan kapal perang angkatan laut mereka di perairan tersebut.
Merespons hal tersebut, Juru Bicara Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga Dahnil Anzar Simanjuntak memastikan Indonesia tak akan terlibat dalam konflik yang terjadi antara AS dan China. Ia menggambarkan Indonesia sebagai proxy, posisi Indonesia tak akan memihak ke AS maupun China.
Pasalnya, persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan di LCS telah menjadi sumber ketegangan dan saling curiga yang berlangsung sejak lama.
Klaim Tiongkok atas kedaulatan LCS telah memantik ketegangan di antara negara lain yang juga sama-sama mengklaim berhak atas kawasan tersebut. Mereka ialah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang disepakati pada 1982 silam dan mulai berlaku pada 1994 menetapkan kerangka hukum untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanan negara-negara pantai dengan kepentingan negara-negara pelaut.
UNCLOS menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yaitu 200 mil wilayah laut yang memperluas hak eksploitasi tunggal kepada negara-negara pesisir atas sumber daya laut.
Namun, ZEE tidak pernah dimaksudkan berfungsi sebagai zona keamanan, dan UNCLOS juga menjamin hak lintas yang luas bagi kapal laut dan pesawat militer.
China mempertahankan argumen soal kedaulatan Laut China Selatan dengan sandaran hukum internasional. Militer asing tidak diperbolehkan melakukan kegiatan intelijen seperti penerbangan intai di ZEE.
sumber : cnn
Aan juga khawatir penduduk di Natuna yang merasa terisolir akan bergerak dan ikut terjun dalam konflik panas AS-China.
"Tentu saja, dampak lainnya yang berpotensi ialah krisis ekonomi karena terhentinya aktivitas ekonomi kelautan yang terkait langsung dengan Laut China Selata," ujarnya Jumat (26/6) lalu.
Dampak Konflik AS-China di Natuna versi Bakamla |
Karenanya, Aan mengingatkan peran negara untuk hadir di Perairan Natuna yang menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Kehadiran itu bisa diwakili oleh aparat pemerintah maupun nelayan sebagai simbol negara.
Aan mengatakan Indonesia seharusnya tak hanya mengklaim memiliki wilayah perairan Natuna atau Laut China Selatan. Menurutnya, klaim itu akan sia-sia jika tak dibarengi aksi nyata berupa kehadiran simbol negara di wilayah tersebut.
Sebelumnya, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmada I TNI-AL Letkol Laut Fajar Tri Rohadi mengatakan pihaknya telah menyiagakan empat buah kapal perang KRI jenis Fregat dan Korvet (kapal anti kapal selam).
Selain upaya antisipasi potensi konflik di Laut China Selatan, Kapal-kapal tersebut juga digunakan untuk patroli rutin di wilayah Natuna, mengingat wilayah tersebut masuk dalam perairan Indonesia.
Tak hanya kapal, Fajar juga menyebut di setiap kapal yang disiagakan ada kru kapal sekitar 100-an orang yang bersiaga. Dia juga mengatakan di wilayah Natuna sendiri telah bersiaga pasukan TNI dari satuan yang terintegrasi.
"Pasti kita akan terus melindungi kedaulatan dan kepentingan NKRI. TNI AL, dalam hal ini, Koarmada I terus menyiagakan unsur KRI di Natuna dan antisipasi meluasnya dampak naiknya tensi di LCS," kata Fajar.
Sebagaimana diketahui, persoalan sengketa Laut China Selatan terus bergulir dan bahkan menghangat belakangan ini. Hal itu tidak lain dampak dari sikap Amerika Serikat yang melakukan intervensi dengan menerjunkan kekuatan kapal perang angkatan laut mereka di perairan tersebut.
Merespons hal tersebut, Juru Bicara Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Publik dan Hubungan Antar Lembaga Dahnil Anzar Simanjuntak memastikan Indonesia tak akan terlibat dalam konflik yang terjadi antara AS dan China. Ia menggambarkan Indonesia sebagai proxy, posisi Indonesia tak akan memihak ke AS maupun China.
Pasalnya, persaingan klaim kedaulatan teritorial atas pulau-pulau dan perairan di LCS telah menjadi sumber ketegangan dan saling curiga yang berlangsung sejak lama.
Klaim Tiongkok atas kedaulatan LCS telah memantik ketegangan di antara negara lain yang juga sama-sama mengklaim berhak atas kawasan tersebut. Mereka ialah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang disepakati pada 1982 silam dan mulai berlaku pada 1994 menetapkan kerangka hukum untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanan negara-negara pantai dengan kepentingan negara-negara pelaut.
UNCLOS menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yaitu 200 mil wilayah laut yang memperluas hak eksploitasi tunggal kepada negara-negara pesisir atas sumber daya laut.
Namun, ZEE tidak pernah dimaksudkan berfungsi sebagai zona keamanan, dan UNCLOS juga menjamin hak lintas yang luas bagi kapal laut dan pesawat militer.
China mempertahankan argumen soal kedaulatan Laut China Selatan dengan sandaran hukum internasional. Militer asing tidak diperbolehkan melakukan kegiatan intelijen seperti penerbangan intai di ZEE.
sumber : cnn
Tidak ada komentar