Yang Mulia
LINTAS PUBLIK, SAYA tidak tahu siapa yang memulai dan kapan mulainya sebutan Yang Mulia bagi Para Hakim. Kita sering mendengar terdakwa atau pengacaranya menyebut Yang Mulia kepada Hakim yang sedang memimpin sidang.
Memang di masa kini terasa risih juga mendengar para hakim disebut Yang Mulia. Bagi hakim yang adil dan jujur, tidak apa-apa disebut Yang Mulia.
Tapi, bagi hakim yang pernah diberitakan menerima amplop atau pernah menjatuhkan hukuman yang melawan rasa keadilan masyarakat, rasanya kurang pas untuk menyebut mereka Yang Mulia.
Sebutan seperti itu memperlihatkan masih adanya sisa-sisa feudalisme dalam beberapa lembaga. Untunglah mantan Ketua MA, Harifin Tumpa telah mengeluarkan himbauan agar sebutan YM bagi para hakim itu dihapus saja.
Dulu Presiden Sukarno disebut dengan gelar PYM/PBR Presiden Sukarno. Kependekan dari Paduka Yang Mulia/Pemimpin Besar Revolusi Presiden Sukarno.
Tapi Presiden Suharto yang menggantikannya menghapus sebutan-sebutan tersebut. Hingga kini presiden-presiden berikutnya tidak lagi disebut PYM.
Mestinya lembaga yang lain juga menghapus sebutan yang feodalistik seperti itu. Misalnya di perguruan tinggi. Setiap ada ujian terbuka Doktor maka yang diuji (promovendus) biasa menyebut penguji dengan sebutan Yang Terpelajar (bagi yang bergelar Doktor) dan Yang Amat Terpelajar (bagi frofesor).
Sebutan seperti itu mestinya dihapus saja. Memang untuk mendapat gelar Doktor dan Profesor, seseorang harus belajar banyak dan mempublikasikan beberapa buku. Tapi tidak perlulah hal seperti itu dijadikan sebutan.
Lagipula acara promosi atau ujian terbuka Doktor itu sudah dihapus di banyak negara. Hanya di Indonesia saja yang masih mempertahankan peninggalan kolonial tersebut.
Feodalisme dan sikap-sikapnya sudah waktunya dikikis dan diganti dengan sikap persamaan sesama manusia. Namun harus dibedakan antara sikap feudal dengan sikap sopan santun. Sikap feudal itu dasarnya adalah takut. Tapi sikap sopan itu dasarnya adalah hormat.
Membungkukkan badan dan menyembah di lingkungan feudal dilakukan atas dasar takut. Tapi membungkukkan badan karena sopan santun dilakukan atas dasar rasa hormat.
Misalnya, orang Jepang itu sebagian besar sudah modern dalam tingkat kehidupannya tapi tetap menjaga sopan santun ketika berhadapan dengan orang lain apalagi yang lebih tua. Mereka pasti akan membungkukkan badan jika bertemu orang lain. Bukan karena mereka merasa takut melainkan untuk menunjukkan rasa hormat.
Bisakah, kita menjadi modern tapi dengan tetap menjaga sikap dan nilai sopan santun? Mestinya bisa. Yang penting semua lembaga pendidikan diharuskan mengajarkan etika dan moral baik kepada para siswanya.
Pendidikan etika dan moral inilah yang tampaknya kurang diberi fokus dalam dunia pendidikan kita terutama di tingkat dasar. Karena itu mulailah memberikan pelajaran tersebut di tingkat PAUD dan seterusnya supaya sopan santun tetap menjadi sikap hidup bangsa kita di tengah arus modernisasi saat ini.
(Prof Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta). POSK
Memang di masa kini terasa risih juga mendengar para hakim disebut Yang Mulia. Bagi hakim yang adil dan jujur, tidak apa-apa disebut Yang Mulia.
Tapi, bagi hakim yang pernah diberitakan menerima amplop atau pernah menjatuhkan hukuman yang melawan rasa keadilan masyarakat, rasanya kurang pas untuk menyebut mereka Yang Mulia.
Sebutan seperti itu memperlihatkan masih adanya sisa-sisa feudalisme dalam beberapa lembaga. Untunglah mantan Ketua MA, Harifin Tumpa telah mengeluarkan himbauan agar sebutan YM bagi para hakim itu dihapus saja.
Dulu Presiden Sukarno disebut dengan gelar PYM/PBR Presiden Sukarno. Kependekan dari Paduka Yang Mulia/Pemimpin Besar Revolusi Presiden Sukarno.
Tapi Presiden Suharto yang menggantikannya menghapus sebutan-sebutan tersebut. Hingga kini presiden-presiden berikutnya tidak lagi disebut PYM.
Mestinya lembaga yang lain juga menghapus sebutan yang feodalistik seperti itu. Misalnya di perguruan tinggi. Setiap ada ujian terbuka Doktor maka yang diuji (promovendus) biasa menyebut penguji dengan sebutan Yang Terpelajar (bagi yang bergelar Doktor) dan Yang Amat Terpelajar (bagi frofesor).
Sebutan seperti itu mestinya dihapus saja. Memang untuk mendapat gelar Doktor dan Profesor, seseorang harus belajar banyak dan mempublikasikan beberapa buku. Tapi tidak perlulah hal seperti itu dijadikan sebutan.
Lagipula acara promosi atau ujian terbuka Doktor itu sudah dihapus di banyak negara. Hanya di Indonesia saja yang masih mempertahankan peninggalan kolonial tersebut.
Feodalisme dan sikap-sikapnya sudah waktunya dikikis dan diganti dengan sikap persamaan sesama manusia. Namun harus dibedakan antara sikap feudal dengan sikap sopan santun. Sikap feudal itu dasarnya adalah takut. Tapi sikap sopan itu dasarnya adalah hormat.
Membungkukkan badan dan menyembah di lingkungan feudal dilakukan atas dasar takut. Tapi membungkukkan badan karena sopan santun dilakukan atas dasar rasa hormat.
Misalnya, orang Jepang itu sebagian besar sudah modern dalam tingkat kehidupannya tapi tetap menjaga sopan santun ketika berhadapan dengan orang lain apalagi yang lebih tua. Mereka pasti akan membungkukkan badan jika bertemu orang lain. Bukan karena mereka merasa takut melainkan untuk menunjukkan rasa hormat.
Bisakah, kita menjadi modern tapi dengan tetap menjaga sikap dan nilai sopan santun? Mestinya bisa. Yang penting semua lembaga pendidikan diharuskan mengajarkan etika dan moral baik kepada para siswanya.
Pendidikan etika dan moral inilah yang tampaknya kurang diberi fokus dalam dunia pendidikan kita terutama di tingkat dasar. Karena itu mulailah memberikan pelajaran tersebut di tingkat PAUD dan seterusnya supaya sopan santun tetap menjadi sikap hidup bangsa kita di tengah arus modernisasi saat ini.
(Prof Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta). POSK
Tidak ada komentar