Header Ads

Hari Anak Nasional: Kejahatan Seksual Kian Tinggi di Tengah Pandemi

LINTAS PUBLIK, Negara harus menjamin anak mendapatkan hak-hak nya. Salah satunya hak untuk hidup aman dari ancaman kekerasan. Sayangnya, dalam peringatan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli tahun ini, pandemi Covid-19 justru membuat anak-anak menjadi korban.

Tantangan anak dan orang tua berada di rumah saja untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 ternyata memicu kebosanan. Tak hanya itu, anak-anak semakin terancam menjadi korban atau sasaran perilaku kekerasan.

Ilustrasi pencabulan anak. shutterstock.com
“Luar biasa saat pandemi Covid-19 ini, semangatnya adalah anak-anak terlindungi dan Indonesia maju. Tanpa anak-anak terlindungi, Indonesia tak akan bisa maju. Maka negara ini harus serius melindungi anak berorientasi pada perlindungan anak, bebas dari kekerasan seksual dan perbudakan,” tegas Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, Rabu (22/7).

Merujuk data selama pandemi, mirisnya kasus kejahatan dan kekerasan terhadap anak meningkat. Menurut Arist, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat ada 3.729 kasus kekerasan terhadap anak. Sekitar 52 persen anak menjadi korban kejahatan seksual.

“Dan data kami di Komnas Perlindungan Anak, dari Maret sampai Juni ada 809 kasus kekerasan terhadap anak. Dan 52-54 persen di antaranya terlaporkan sebagai korban kekerasan seksual oleh orang terdekat,” papar Arist.

Apa pemicunya?

Ternyata terlalu lama di rumah, membuat orang semakin frustasi dan stres melampiaskan kekerasan terhadap anak. Artinya, kata Arist, sebetulnya sebelum pandemi terjadi sebetulnya kasus ini sebetulnya sudah ada. Namun kenaikan kasus semakin cepat selama pandemi.

“Bisa naik 2 kali lipat kencang kasusnya berlari. Pandemi ini benar-benar membuat anak menjadi sasaran, kita tahu sebelumnya ada kasus Warga Negara Prancis mencabuli ratusan anak. Ada juga lokal di Sukabumi,” tuturnya.

Kasus lain yang membuat anak menjadi korban, kata dia, adalah mempekerjakan anak sebagai dampak orang tua kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Arist juga menyebut data anak terlantar saat ini sebanyak 4,1 juta, di mana di antaranya disumbang oleh keluarga yang kehilangan mata pencaharian.

“Kondisi stres ini membuat anak semakin jadi ‘properti’. Orang tua stres dan anak menjadi korban utama,” tuturnya.

Solusinya?

Orang tua harus mengubah paradigma pola pengasuhan. Arist meminta semua orang tua mengingat bahwa anak adalah titipan Tuhan.

“Kemiskinan tak bisa menjadi pembenaran dari kekerasan terhadap anak. Pola pengasuhan New Normal harus diterapkan dengan membangun ketahanan keluarga. Memang sangat sulit praktiknya, tetapi jika ingat anak itu adalah titipan Tuhan, orang tua seharusnya bisa sadar. Buatlah pola pendekatan anak sebagai kawan,” tutupnya.



sumber  : JP 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.