Jangan GR, Menangnya Rachma Tak Berarti Membatalkan Jokowi
LINTAS PUBLIK, Ketika MA mengabulkan gugatan Rachmawati Cs atas sengketa Pilpres 2019, sejumlah pendukung Capres Prabowo mendadak GR, bahwa kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin bisa dibatalkan. Bukan begitu, disamping putusan kadaluwarsa, MA juga tak berwenang adili sengketa Pilpres.
Rachmawati adalah adik kandung Megawati, Ketum PDIP. Entah kenapa, sama-sama putri Sukarno tapi keduanya selalu berseberangan. Dalam Pilpres 2019 tempo hari, Jokowi adalah jagoan Megawati, tapi siadik malah mendukung Prabowo. Begitulah demokrasi, endog sepetarangan (telur satu induk) bisa beda pilihan.
Ketika MK memutuskan pemenang Pilpres 2019 adalah paslon Jokowi-Ma’ruf Amin, Rachmawati Cs cari celah dengan mengajukan gugatan ke MA. Yang digugat adalah Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1.
Ternyata gugatan Rachmawati tersebut dikabulkan MA, dan putusan diumumkan pada awal Juli lalu. Maka kelompok pendukung Capres No. 02 sebagaimana Egie Sudjana dan Novel Bamukmin berasumsi bahwa Jokowi-Ma’ruf akan dibatalkan kemenangannya. Bahkan Novel jubir PA 212 itu mendesak MPR menggelar sidang istimewa untuk memakzulkan Jokowi.
Novel Bamukmin Cs boleh dikata GR duluan. Sebab para pengamat hukum tata negara dari Yusril Ihza Mahenda, Refly Harun, Zainal Arifin Mochtar, semua menyatakan senada bahwa keputusan MA itu tak berpengaruh pada kedudukan Jokowi-Ma’ruf Amin. Itu sifatnya hanyalah prospektif, untuk Pilpres 2024 mendatang.
Alasannya, MA tidak punya wewenang mengadili sengketa Pilpres, karena sudah menjadi domain MK. Artinya, MA tak bisa mementahkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Di samping itu, putusan MA baru diproses pada 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Ma'ruf dilantik oleh MPR.
UU Pemilu No. UU 7/2017 menjadi masalah karena tak pernah kepikiran mengatur bahwa Capres-Cawapres hanya dua pasangan sebagaimana Pilpres 2014. Maka KPU menerbitkan PKPU No 5 Tahun 2019, di mana pasal 3 ayat 7 berbunyi: Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) paslon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.
Sedangkan Rachmawati Cs bersiteguh pada Pasal 416 ayat 1 UU 7/2017 yang berbunyi: Paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 % (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Maka kalangan pengamat menilai syarat “presidential threshold” untuk Pilpres 2024 tak perlulah, sehingga bisa memunculkan banyak Capres. Dengan banyak Capres, rakyat punya banyak pilihan, tak perlu memilih Capres anggur kolesom (orang tua) karena adanya hanya itu.
sumber : posk
Rachmawati adalah adik kandung Megawati, Ketum PDIP. Entah kenapa, sama-sama putri Sukarno tapi keduanya selalu berseberangan. Dalam Pilpres 2019 tempo hari, Jokowi adalah jagoan Megawati, tapi siadik malah mendukung Prabowo. Begitulah demokrasi, endog sepetarangan (telur satu induk) bisa beda pilihan.
Jokowi - KH Ma'ruf Amin saat jelang Pilpres 2019. |
Ternyata gugatan Rachmawati tersebut dikabulkan MA, dan putusan diumumkan pada awal Juli lalu. Maka kelompok pendukung Capres No. 02 sebagaimana Egie Sudjana dan Novel Bamukmin berasumsi bahwa Jokowi-Ma’ruf akan dibatalkan kemenangannya. Bahkan Novel jubir PA 212 itu mendesak MPR menggelar sidang istimewa untuk memakzulkan Jokowi.
Novel Bamukmin Cs boleh dikata GR duluan. Sebab para pengamat hukum tata negara dari Yusril Ihza Mahenda, Refly Harun, Zainal Arifin Mochtar, semua menyatakan senada bahwa keputusan MA itu tak berpengaruh pada kedudukan Jokowi-Ma’ruf Amin. Itu sifatnya hanyalah prospektif, untuk Pilpres 2024 mendatang.
Alasannya, MA tidak punya wewenang mengadili sengketa Pilpres, karena sudah menjadi domain MK. Artinya, MA tak bisa mementahkan putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Di samping itu, putusan MA baru diproses pada 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Ma'ruf dilantik oleh MPR.
UU Pemilu No. UU 7/2017 menjadi masalah karena tak pernah kepikiran mengatur bahwa Capres-Cawapres hanya dua pasangan sebagaimana Pilpres 2014. Maka KPU menerbitkan PKPU No 5 Tahun 2019, di mana pasal 3 ayat 7 berbunyi: Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) paslon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih.
Sedangkan Rachmawati Cs bersiteguh pada Pasal 416 ayat 1 UU 7/2017 yang berbunyi: Paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 % (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.
Maka kalangan pengamat menilai syarat “presidential threshold” untuk Pilpres 2024 tak perlulah, sehingga bisa memunculkan banyak Capres. Dengan banyak Capres, rakyat punya banyak pilihan, tak perlu memilih Capres anggur kolesom (orang tua) karena adanya hanya itu.
sumber : posk
Tidak ada komentar