Ogah Jadi Generasi Penerus Seminggu Nikah Ajak Talak
LINTAS PUBLIK, Jika perkawinan hanya mengejar keperawanan, Sigit (30), benar-benar merasa ditipu oleh istrinya, Sawitri (22). Ngakunya perawaan, dalam “serangan umum” ternyata sudah mahir. Kecewa tak mau jadi “generasi penerus”, akhirnya pengantin usia seminggu itu gugat cerai ke Pengadilan Agama meski sudah dicegah.
Banyak lelaki yang menargetkan, di malam pertama istri masih asli segelan plastic. Padahal tak semua bisa menemukannya. Jika ketemu istri yang langsam saja tanpa gajlugan, apa harus diceraikan? Banyak suami yang mencoba menerima kenyataan pahit itu ketimbang bikin malu keluarga. Toh jadi “generasi penerus” lebih enakan, karena tak perlu lagi jebol tembok Berlin.
Tapi beda dengan Sigit warga Surabaya. Begitu sukses secara ekonomi, dia langsung bikin target: kawin dengan istri yang cantik dan perawan asli. Maka ketika mendekati cewek, banyak pacar Sigit yang putus di tengah jalan, karena selalu ditanyakan soal hymen (keperawanan). “Maaf Mas, saya tahunya himne lagu-lagu rohani itu,” kata si gadis langsung kabur meninggalkan Sigit.
Tapi Sawitri yang didekati Sigit, ternyata termasuk cewek yang ahli menata kata dan diplomatis dalam bicara. Ketika diam-diam Sigit menanyakan soal keperawanan, jawabnya sangat meyakinkan karena saking seriusnya. “Mas, saya tak mau menebar kata, tapi fakta. Dan itu akan Mas buktikan nanti di malam pertama.” Kata Sawitri penuh percaya diri.
Nah, karena kata-kata itu Sigit yakin bahwa Sawitri memang sosok gadis yang dicarinya. Maka 2 bulan kemudian perkawinan dilangsungkan dengan meriah. Lantaran sama-sama orang sibuk, baru seminggu kemudian keduanya mengadakan “serangan umum” non 1 Maret 1949, meski tanpa sepengetahuan PBB.
Tapi alangkah kagetnya Sigit, ternyata Sawitri ibaratnya pemain PSSI sudah begitu lihai menggiring bola. Akhirnya Sigit jadi tak nyaman lagi melepaskan tendangan duabelas pas, meski akhirnya berhasil juga mencetak gol dengan mudah. “Kok tak ada noda-noda darah tanda kesucian?” kata batin Sigit.
Ketika turun minum, Sigit mencoba mempertanyakan hal itu. Tapi jawabnya terkesan Sawitri malah menguliahi dirinya, seperti dr. Naek L. Tobing atau Dian Nugroho. Bahwa tak semua perawan mengeluarkan darah di malam pertama, karena kelenturan hymen tidak sama, bisa juga pernah mengalami kecelakaan.
Paginya Sigit mencari informasi tentang masa lalu Sawitri. Ternyata dia pernah pacaran dengan pemuda Mujito. Kemungkinan besar dialah yang men-DP Sawitri sampai nol rupiah. Berdasarkan data itu langsung dia berencana menceraikan Sawitri. Tapi keluarga dua kubu menyarankan, jangan! Nanti akan bikin malu keluarga. “Sudahlah terima saja apa adanya, toh perawan atau janda sama saja….” Kata si pemberi nasihat.
Tapi Sigit tak mau menerima saran itu. Enak saja, dipaksa jadi “generasi penerus”. Kalau penerus cita-cita bangsa sih nggak apa-apa, tapi ini hanya penerus dalam urusan perkawinan kan sangat menyakitkan. Maka ketimbang makan hati, Sigit sehari kemudian membawa persoalan ini ke Pengadillan Agama Surabaya.
Apa alasannya, mau bilang sudah tidak segelan plastic, begitu?
sumber : posk
Banyak lelaki yang menargetkan, di malam pertama istri masih asli segelan plastic. Padahal tak semua bisa menemukannya. Jika ketemu istri yang langsam saja tanpa gajlugan, apa harus diceraikan? Banyak suami yang mencoba menerima kenyataan pahit itu ketimbang bikin malu keluarga. Toh jadi “generasi penerus” lebih enakan, karena tak perlu lagi jebol tembok Berlin.
Tapi beda dengan Sigit warga Surabaya. Begitu sukses secara ekonomi, dia langsung bikin target: kawin dengan istri yang cantik dan perawan asli. Maka ketika mendekati cewek, banyak pacar Sigit yang putus di tengah jalan, karena selalu ditanyakan soal hymen (keperawanan). “Maaf Mas, saya tahunya himne lagu-lagu rohani itu,” kata si gadis langsung kabur meninggalkan Sigit.
Tapi Sawitri yang didekati Sigit, ternyata termasuk cewek yang ahli menata kata dan diplomatis dalam bicara. Ketika diam-diam Sigit menanyakan soal keperawanan, jawabnya sangat meyakinkan karena saking seriusnya. “Mas, saya tak mau menebar kata, tapi fakta. Dan itu akan Mas buktikan nanti di malam pertama.” Kata Sawitri penuh percaya diri.
Nah, karena kata-kata itu Sigit yakin bahwa Sawitri memang sosok gadis yang dicarinya. Maka 2 bulan kemudian perkawinan dilangsungkan dengan meriah. Lantaran sama-sama orang sibuk, baru seminggu kemudian keduanya mengadakan “serangan umum” non 1 Maret 1949, meski tanpa sepengetahuan PBB.
Tapi alangkah kagetnya Sigit, ternyata Sawitri ibaratnya pemain PSSI sudah begitu lihai menggiring bola. Akhirnya Sigit jadi tak nyaman lagi melepaskan tendangan duabelas pas, meski akhirnya berhasil juga mencetak gol dengan mudah. “Kok tak ada noda-noda darah tanda kesucian?” kata batin Sigit.
Ketika turun minum, Sigit mencoba mempertanyakan hal itu. Tapi jawabnya terkesan Sawitri malah menguliahi dirinya, seperti dr. Naek L. Tobing atau Dian Nugroho. Bahwa tak semua perawan mengeluarkan darah di malam pertama, karena kelenturan hymen tidak sama, bisa juga pernah mengalami kecelakaan.
Paginya Sigit mencari informasi tentang masa lalu Sawitri. Ternyata dia pernah pacaran dengan pemuda Mujito. Kemungkinan besar dialah yang men-DP Sawitri sampai nol rupiah. Berdasarkan data itu langsung dia berencana menceraikan Sawitri. Tapi keluarga dua kubu menyarankan, jangan! Nanti akan bikin malu keluarga. “Sudahlah terima saja apa adanya, toh perawan atau janda sama saja….” Kata si pemberi nasihat.
Tapi Sigit tak mau menerima saran itu. Enak saja, dipaksa jadi “generasi penerus”. Kalau penerus cita-cita bangsa sih nggak apa-apa, tapi ini hanya penerus dalam urusan perkawinan kan sangat menyakitkan. Maka ketimbang makan hati, Sigit sehari kemudian membawa persoalan ini ke Pengadillan Agama Surabaya.
Apa alasannya, mau bilang sudah tidak segelan plastic, begitu?
sumber : posk
Tidak ada komentar