UU Cipta Kerja Bukan Semata Ketenagakerjaan, Tapi Ada Urusan Petani Hingga Digitalisasi Siaran
LINTAS PUBLIK, Unjuk rasa besar-besaran buruh, mahasiswa, warga lainnya, bergolak di seantero negeri guna menolak UU Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020) lalu. Fokusnya soal buruh dan ketenagakerjaan.
Demo tolak undang-undang Omnibus Law di siantar, kamis (8/10/2020). |
Hal itu menjadi sorotan kalangan DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya menyatakan, UU Cipta Kerja bukan semata soal ketenagakerjaan. Bagi Willy, di UU Cipta Kerja itu ada muatan besar, dari soal petani hingga digitalisasi siaran.
"UU Cipta Kerja bukanlah soal ketenagakerjaan semata. Di sana bahkan bicara soal kemudahan orang berusaha dan membuka lapangan kerja di Tanah Air. UU ini juga bicara soal petani, masyarakat adat, UMKM, koperasi, hingga digitalisasi siaran. Semua ini seolah luput dari perhatian banyak kalangan, tertelan isu relasi ketenagakerjaan tadi," kata Willy Aditya dalam keterangan persnya, Jumat (9/10/2020).
Namun, Willy juga mengatakan, besarnya gelombang penolakan masyarakat terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) di berbagai daerah, adalah sebagai bagian dari dinamika bernegara dan berdemokrasi, menyampaikan aspirasi adalah hal biasa. Kenyataan tersebut justru menunjukkan terjaminnya hak konstitusional warga.
Namun, narasi yang mencolok dari serangkaian gelombang aksi yang berlangsung sehari setelah disahkan, berlokus pada soal-soal relasi ketenagakerjaan dengan pengusaha.
Menurut Willy, UU Cipta Kerja telah memberikan dukungan terhadap kemudahan berusaha dan investasi. Adanya online single submission (OSS) sebagai upaya untuk meringkas dan mempercepat proses perizinan.
Mengingat, perizinan berusaha selalu berbasis risiko. Semakin sedikit persyaratannya, semakin rendah risikonya. Persoalan tumpang-tindih peraturan, pungli, pemerasan, politisasi perizinan, dan berbagai masalah dalam hal perizinan, diharapkan bisa hilang dengan pengaturan demikian.
Kendati demikian, UU Cipta Kerja memastikan bahwa investasi tidak hanya dinikmati usaha-usaha besar, tetapi juga UMKM dan koperasi. Demikian halnya dengan kemudahan usaha bagi sektor riil dan sektor kerakyatan.
"Dalam persoalan agraria, UU Cipta Kerja juga telah menghilangkan ancaman pidana bagi masyarakat yang tinggal turun temurun dalam kawasan hutan dan beberapa ketentuan yang hak masyarakat adat. Klausul ini setidaknya meminimalisir konflik agraria dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang kerap terjadi di banyak wilayah," jelas politisi Fraksi Partai NasDem itu.
Namun, lewat one map policy (OMP), UU ini telah membangun kepastian hukum terkait dengan penggunaan hutan oleh masyarakat. Wujudnya ialah adanya pengaturan tentang perhutanan sosial, berkenaan dengan status kawasan yang telah berlanjut didiami turun temurun.
Willy menambahkan, di sektor teknologi informasi, terus tertundanya digitalisasi siaran di Tanah Air, membuat penikmatan terhadap digital dividen terus tertunda. Pengembangan usaha digital dari sisi konten ataupun penyelenggara siaran terhambat.
"Kabar baik pun datang. UU Ciptaker telah memastikan analog switch off (ASO) segera dilakukan, paling lambat dua tahun setelah UU ini diundangkan," terangnya.
Adapun terkait dengan isu paling sensitif, yakni ketenagakerjaan. Sejak awal, klaster ini telah didesak untuk dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Dalam prosesnya, ada tuntutan yang sepenuhnya bisa diterima dalam rapat, ada yang disepakati dengan penyesuaian. Namun, ada juga yang harus direlakan untuk mengikuti rancangan awal.
Sekadar contoh, pasal hak cuti haid, menikah, melahirkan, keguguran, misalnya, berhasil dipertahankan sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Demikian juga ketentuan tentang penggunaan tenaga kerja asing untuk melindungi tenaga kerja Indonesia.
Demikian juga dengan sanksi ketenagakerjaan, upah minimum padat karya, dan penyesuaian aturan tenaga alih daya sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
Berkenaan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), upaya keras telah dilakukan untuk mempertahankan ketentuan sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Namun, dalam perjalanannya, ia harus dikompromikan dengan permintaan agar jangka waktu diatur berdasarkan peraturan pemerintah.
Dengan sangat menyesal, ketentuan UU Ketenagakerjaan 13/2003 berkenaan dengan jumlah pesangon tidak dapat dipertahankan.
Pemerintah meminta agar ketentuan 32 kali diubah menjadi 25 kali dan memperoleh dukungan argumentasi dari fraksi lainnya. Demikian juga dengan upah minimum sektoral yang harus menyesuaikan dengan kondisi yang terjadi saat ini dinilai menghambat investasi dan usaha.
Dalam soal pers dan pendidikan, berulang-ulang telah didesak agar soal ini dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Hal ini dilakukan dengan alasan bahwa nilai-nilai kependidikan tidak boleh berubah menjadi bisnis semata dan pers pun tidak boleh menjadi medan pertarungan investasi yang brutal.
Menurut Willy, sejak mula pembahasan, DPR RI mengundang bukan hanya ahli atau pakar dalam setiap proses pembahasan, melainkan beragam organisasi masyarakat sipil dengan konsentrasi advokasi yang spesifik pun turut diundang. Organisasi seperti serikat pekerja, serikat profesi, dan organisasi sejenis turut dilibatkan.
"Tidak semua bisa tercapai memang, tetapi masih banyak klausul di UU Ciptaker yang memberi banyak manfaat bagi bangsa. Kesempatan memiliki kebijakan satu peta, perlindungan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, kemudahan perizinan kapal bagi nelayan kecil, kemudahan bagi pengusaha kecil yang ingin memulai usaha.
Lalu, kemudahan mengurus sertifikasi halal, berbagai fasilitas bagi UMKM, tentu juga menjadi pertimbangan untuk akhirnya tetap menerima UU ini dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada," pungkas Willy.
sumber : posk
Tidak ada komentar