Pelecehan Seksual Putri Candrawathi: dari Dugaan hingga yang Janggal
JAKARTA, Komnas HAM menduga kuat Brigadir Yosua Hutabarat melakukan pelecehan seksual kepada Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, di Magelang, Jawa Tengah. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai dugaan pelecehan seksual terhadap Putri itu patut dipertanyakan.
Foto Kolase Johson, Sambo, Putri dan Alm Brigadir J/dari berbagi sumber. |
Dugaan Pelecehan
Dugaan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi itu disampaikan Komnas HAM sebagai salah satu poin kesimpulan terhadap penyelidikan kematian Brigadir J pada 8 Juli 2022 di rumah dinas Kadiv Propam dihuni Sambo saat itu, Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Dugaan pelecehan itu dilakukan di Magelang.
"Terdapat dugaan kuat terjadinya peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Brigadir J kepada Saudari PC (Putri Candrawathi) di Magelang, tanggal 7 Juli 2022," kata komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (1/9/2022).
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menjelaskan ada petunjuk-petunjuk awal soal kekerasan seksual yang perlu ditindaklanjuti oleh pihak penyidik. Namun Putri Candrawathi selaku korban sempat merasa enggan melaporkan peristiwa kekerasan seksual itu.
"Kami perlu menegaskan bahwa keengganan pelapor untuk melaporkan kasusnya (kekerasan seksual -red) sedari awal itu karena memang merasa malu, menyalahkan diri sendiri, takut pada ancaman pelaku, dan dampak yang mungkin mempengaruhi seluruh kehidupannya," kata Andy.
Pihak Yosua Heran
Pihak keluarga Brigadir Yosua heran dengan temuan dugaan pelecehan itu. Hal itu disampaikan oleh Pengacara Brigadir J, Johnson Panjaitan.
"Aneh bener ya dan ini menurut saya langkah mutakhir ini, mutakhir, yang paling canggih dari duet antara Sambo dan istrinya, karena di masa lalu skenario yang dibangun ada pelaporan itu justru ditutup. Pertanyaan saya sekarang, Komnas HAM dapat dari mana sehingga bisa dapat kesimpulan begitu, karena Komnas kan kerja berdasarkan data yang bener ya, misal BAP, karena kemarin saya tidak lihat ada soal pelecehan seksual di rekonstruksi," ujar Johnson kepada wartawan, Kamis (1//92022).
Johnson menyebut Komnas HAM terkesan propelaku. Dia mengatakan hal itu akan meruntuhkan legitimasi Komnas HAM.
"Kalau memang benar temuan Komnas begitu, ini membuktikan Komnas HAM lebih propelaku, ke negara, daripada korban atau rakyat yang memiliki hak asasi, dan cara kerja seperti ini menurut saya meruntuhkan legitimasi Komnas HAM," ujarnya.
Johnson juga menyinggung Komnas HAM yang tidak pernah berkoordinasi dengan keluarga Brigadir J. Menurutnya, Komnas HAM hanya sekali bertemu dengan keluarga Brigadir J.
"Karena kami tidak pernah melaporkan pelanggaran hak asasi ke Komnas. Komnas berangkat setelah rapat dengan Wakapolri dan Timsus, dan dia hanya datang ke Jambi bertemu dengan keluarga. Sampai sekarang dia tidak kasih tahu apa pun kepada keluarga, padahal kan keluarga korban," ujarnya.
Komnas HAM Tanggapi Pihak Yosua
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menanggapi respons dari pihak Yosua itu. Komnas HAM menyerahkan penyidikan soal dugaan pelecehan itu kepada polisi.
"Tidak yakin itu pun mesti dibuktikan toh. Maka biarkanlah penyidik membuktikannya. Sekali lagi dengan bantuan ahli," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada wartawan, Sabtu (3/9).
Taufan mengatakan Undang-Undang Tidak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mengatur bahwa keterangan saksi atau korban adalah alat bukti. Dia menyebut dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Yosua kepada Putri Candrawati itu berdasarkan ketengan Putri, Ferdy Sambo, Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal dan ART Ferdy Sambo, Susi.
"Perlu juga dipelajari UU TPKS yang mengatur alat bukti di pasal 25. Keterangan saksi atau korban adalah alat bukti, ini berbeda dengan tindak pidana lain di mana keterangan adalah alat bukti yang paling rendah," kata dia.
"Di kasus dugaan pelecehan di Magelang, ada keterangan PC selaku korban, keterangan Susi, KM dan RR. Maka alat buktinya ada 4 sesuai dengan UU TPKS," lanjutnya.
Taufan mengatakan dugaan adanya pelecehan seksual kepada Putri Candrawati cukup dibuktikan dengan keterangan saksi dan korban. Dia menyebut prosedur pembuktian tindak pidana kekerasan seksual berbeda dengan tindak pidana umum.
"Alat bukti itu cukup keterangan saksi dan/atau korban. Prosedur pembuktian tindak pidana kekerasan seksual berbeda degan tindak pidana umum lainnya yang membutuhkan barang bukti selain keterangan," tutur dia.
Lebih lanjut, Taufan mengatakan kekerasan seksual sering kali terjadi di raung privat. Sehingga, kata dia, pembuktian dugaan pelecehan ini cukup dengan keterangan saksi dan korban.
"Ini karena kekerasan seksual seringkali terjadi di ruang privat dan sangat mungkin di dalam ruang privat tersebut hanya ada pelaku dan korban saja. Makanya prosedur pembuktiannya lebih mudah," sebut Taufan.
LPSK Ungkap Kejanggalan
LPSK mengatakan dugaan pelecehan seksual atau pemerkosaan ke istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi patut dipertanyakan. Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menilai ada kejanggalan dalam dugaan pelecehan itu.
"Makannya kok janggal, karena dua hal yang umumnya terjadi pada kekerasan seksual itu tidak terpenuhi. Pertama soal relasi kuasa karena posisi Yosua adalah bawahan dari ibu PC atau dari FS," papar Edwin saat dihubungi detikcom, Senin (5/9).
Edwin menyebut pada umumnya, pelaku pelecehan seksual akan mencari tempat yang aman tanpa sepengetahuan orang lain. Namun, di kasus ini masih ada saksi di rumah kawasan Magelang, yakni KM dan S selaku asisten di rumah.
"Biasanya pelaku memastikan tidak ada saksi, ini peristiwanya di rumah Ibu PC. Di situ ada KM dan ada S, Susi. Jadi terlalu apa ya, nekat ya. Kalau itu terjadi nekat banget ya," ungkap Edwin.
Kejanggalan ketiga, lanjut Edwin, perihal posisi PC yang disebutnya masih bisa memberikan perlawanan. Selain itu, saat di Magelang disebut PC masih bertanya soal keberadaan Yosua, bahkan Yosua juga menghadap PC di kamarnya.
"Ini kan tergambar di rekonstruksi, bayangkan saja bagaimana kok korban dari kekerasan seksual masih bertanya tentang pelakunya dan masih bisa bertemu dengan pelakunya secara fisik di ruang pribadinya yang merupakan tempat peristiwa dugaan itu," tutur Edwin.
Menurut Edwin, umumnya, korban pelecehan seksual akan mengalami trauma atau depresi untuk bertemu kembali dengan pelaku. Kelima, korban masih berada satu rumah dengan pelaku di tanggal 7 dan 8 Juli.
"Yosua masih tinggal menginap di rumah itu. Itu rumahnya kalau kita pakai pendekatan kekerasan seksual itu rumahnya korban, korban punya kekuasaan, kok korban masih bisa tinggal bersama pelaku," tanyanya.
"Peristiwa terjadi di Magelang, dugaan peristiwa itu, kenapa tidak dilaporkan ke polisi? kalau ini benar, yang jadi korban kan istri Jenderal kalau dia telepon Polres, Polresnya datang. Polisi akan datang ke rumahnya nggak perlu sibuk-sibuk untuk datang ke kantor polisi," sambung Edwin.
Padahal, sambung Edwin, jika korban melaporkan dugaan tersebut ke polisi berpeluang besar mendapatkan bukti yang lebih akurat, yakni terkait dengan visum.
Lebih lanjut, dia pun mempertanyakan posisi Yosua sempat dibawa ke rumah pribadi kawasan Saguling, Jakarta Selatan. Kejanggalan selanjutnya adalah hubungan baik yang dimiliki Yosua ke Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
"Yosua masih dibawa Ibu PC beserta rombongan ke rumah Saguling, artinya dia masih bisa bersama-sama dengan pelaku, itu uniklah. Ibu PC sudah menganggap Yosua anak, dan mungkin juga sebaliknya Yosua sudah menganggap Ibu PC sebagai ibu, jadi itu keganjilan yang kedepalan," kata Edwin.
Kejanggalan terakhir, menurut Edwin masih terkait dengan hubungan antara Yosua dengan Putri Candrawathi. Namun, pihaknya belum bisa menjelaskan lantaran tak ingin mendahului penyidik.
"(Kejanggalan) yang kesembilan masih saya tahan dulu. Kami sudah punya informasi tapi kami belum bisa sampaikan karena tidak mau mendahului penyidik," pungkasnya.
Komnas HAM Jawab LPSK
Komnas HAM kemudian merespons LPSK yang menyebut ada kejanggalan soal dugaan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi, di Magelang. Komnas HAM menyatakan hanya bekerja sesuai dengan mandat undang-undang.
"Begini, saya kira yang pertama Komnas HAM mencoba untuk bekerja sesuai dengan mandat dan kewenangannya," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kepada wartawan, Senin (5/9).
Beka mengatakan pihaknya mencoba bekerja sesuai dengan mandat yang dimiliki Komnas HAM. Dia menyebut setiap lembaga juga harus menjalankan mandat dan wewenang yang dimiliki masing-masing.
"Saya kira lembaga lain juga harus bekerja sesuai mandat dan kewenangan, itu aja," ujarnya. detik.com/t
Tidak ada komentar